Thursday, February 24, 2011

Argumen Ad-hominem tentang Pajak Royalti


Ali ibn Thalib mengatakan lihatlah apa yang dikatakan jangan lihat siapa yang mengatakan.

Kali ini saya harus berbeda dengan beliau. (lagipula, blog ini punya kata 'cacian' di judulnya).

Sekedar catatan, buat yang mengenalku pasti tahu bahwa aku bukan penggemar film, bukan penggemar film Hollywood.

PRO PAJAK ROYALTI :

1. Deddy Mizwar:
orang s** s***, memanfaatkan kejeniusan Musfar Yasin, tetapi s***** ini membiarkan FFI 2010 menjadi ajang politik. S***** ini lupa bahwa FFI dibayar dengan PAJAK!

2. Rudy Sanyoto:
Gak kenal dia tetapi dari BP2N juga. Artinya dia termasuk s***** yang membiarkan FFI 2010 menjadi ajang politik. S***** ini juga lupa bahwa dia menyalahgunakan FFI yang dibayar dengan PAJAK!

KONTRA PAJAK ROYALTI:

1. Noorca Massardi:
Sebagai wakil dari 21 cineplex, kurasa semua penggemar film mengetahui masalah ini dari tulisan beliau yang emosional. Jujur saja, dia termasuk s****h yang meluluskan Ekskul di FFI 2006 jadi aku juga gak bisa mempercayainya.

2. Ananda Siregar:
Sebagai wakil dari Blitz Megaplex (baca Kompas tanggal 20 Februari lalu). Posisi dia membatalkan argumen tentang monopoli. Ini masalah yang dihadapi bersama oleh usaha bioskop. Ini kutipannya (catatan, dia salah menyebutnya sebagai bea masuk):
Pendiri dan konseptor Blitzmegaplex, Ananda Siregar, mengatakan jumlah film Hollywood yang diputar Blitz selama ini sekitar 80 hingga 90 judul per tahun atau sekitar dua pertiga dari semua judul film yang diputar Blitz. Selebihnya, jaringan bioskop ini memutar film nasional dan film-film asing non-Hollywood. "Jadi, dampaknya sangat negatif. Kalau berkelanjutan itu menyusahkan," ujar Ananda.

Dijelaskan Ananda, distributor film asing non-Hollywood sebenarnya bisa mengisi kekosongan film Hollywood di bioskop-bioskop Indonesia. Namun, ia khawatir distributor film asing lainnya juga akan berkeberatan karena ketentuan bea masuk ini berlaku bagi semua film impor.

Film nasional juga bisa didorong untuk mengisi layar Blitz. Namun langkah itu tidak bisa dalam jangka pendek. "Produksi film lokal memang bisa digenjot, tetapi prosesnya kan makan waktu. Kalau pasokan saat ini belum mencukupi, " ujarnya.

3. Mira Lesmana
Produser film nasional. Di radio Rabu kemarin (23/2)
"Kemana pajak film selama ini? Seharusnya diwujudkan untuk film Indonesia"

Sementara di Hari Minggu lalu (20/2) :
"Siapa pun sadar, kualitas film Indonesia masih banyak yang di bawah standar. Karenanya masih sangat dibutuhkan film-film asing yg bermutu untuk ditonton dan dipelajari baik oleh pembuat maupun penonton film di Indonesia"

4. Nia Dinata
Produser Film Nasional hari Senin lalu (21/2)
The culture of going to the cinema will fade as film lovers get used to watching pirated DVDs ... If the government wants to help to increase the number of Indonesian films and improve the quality of the local film industry, this is not the solution


5. Sheilla Timothy
Produser Film Nasional hari Senin lalu (21/2)

Perlu diingat, industri film merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari banyak partikel. Industri film adalah suatu sistem yang terdiri dari bukan hanya pembuat film, atau production house, tetapi juga termasuk di dalamnya semua perusahaan yang terlibat di berbagai bidang—teknologi, komersial film, distributor, dan eksibitor. Segenap partikel itu merupakan kesatuan dalam suatu habitat, yang saling membutuhkan satu sama lain, suatu simbiosis mutualisme.

Jika salah satu partikel terganggu, partikel lain akan terganggu pula. Pendek kata, jika film-film asing (baik Hollywood atau non-Hollywood) menghilang di layar eksibitor (bioskop-bioskop), maka penghasilan dari eksibitor akan terganggu. Jika eksibitor menghilang, lalu di mana filmmaker lokal dapat memutar film mereka?

Jadi, pertanyaan kita adalah: benarkah pengenaan pajak dan bea impor ini, yang berpotensi akan mengurangi bahkan menghilangkan film impor dari layar bioskop, akan meningkatkan jumlah film nasional?

Tujuan itu mungkin tercapai jika kita hanya bicara kuantitas film, bukan kualitasnya. Untuk memenuhi kuota, filmmaker dapat saja membuat film dengan cepat, dengan dana seadanya, diproduksi dalam satu minggu, yang akan siap tayang dalam tempo satu bulan, digandakan sebanyak mungkin, kemudian segera dilempar ke pasar.

Masalahnya, dengan kualitas yang rendah dan dibuat asal-asalan seperti itu, apakah masalah yang dihadapi film lokal saat ini akan terjawab? Apakah penonton mau mengeluarkan uang untuk menonton film kacangan? Tentu saja tidak. Jumlah penonton bioskop niscaya akan semakin turun. Kepercayaan masyarakat terhadap film nasional akan semakin sirna. Sebagai gambaran, di tahun 2010 saja jumlah penonton film nasional hanyalah sekitar 500 ribu orang saja—jumlah yang sangat sedikit.


YANG SERING BIKIN SALAH PAHAM

1. Ini kan karena monopoli jaringan 21

Nope.. yang protes juga dari Blitz Megaplex dan dari produser film Nasional.

2. Ini kan karena kapitalis Hollywood.

Nope.. seperti yang dibilang wakil dari Blitz, film asing non-Hollywood pun juga ragu-ragu.

3. Mereka gak bayar pajak dari tahun 1995

Nope.. Mereka sudah bayar pajak. Hanya saja, pihak pajak kali ini membuat tafsiran baru atas aturan perpajakan lama. Sebelumnya pihak pajak cuma menilai dari nilai material, alias tiap salinan. Kali ini, nilai hak cipta intelektual dihitung.

4. Trus apa sih masalahnya?

a. belum ada kejelasan perhitungan pajak hak cipta intelektual ini apalagi pajak ini dipungut SEBELUM FILMNYA DIEDARKAN DI INDONESIA. Apa mau berdasarkan penghasilan di negara asalnya? Padahal apa yang sukses di negara asal belum tentu sukses di Indonesia.

b. belum ada niat baik pemerintah untuk mendukung perfilman Indonesia. Uang pajak belum disalurkan dengan benar ke dunia film Indonesia.



Bacaan:

1. Kompas edisi Minggu tanggal 20 Februari 2011

2. http://www.tribunnews.com/2011/02/20/mira-hak-masyarakat-menonton-film-lokal-dan-asing

3. http://www.tempointeraktif.com/hg/film/2011/02/23/brk,20110223-315617,id.html

4. http://www.thejakartaglobe.com/home/a-preview-of-whats-to-come-under-the-imported-film-levy/423835

5. http://filmindonesia.or.id/post/bagaimana-sebaiknya-membantu-perfilman-indonesia

6. http://filmindonesia.or.id/post/noorca-massardi-film-nasional-mati-jika-bioskop-mati

7. http://filmindonesia.or.id/post/deddy-mizwar-rudy-sanyoto-meluruskan-masalah-film-impor

8. http://filmindonesia.or.id/post/saatnya-membenahi-urusan-film-impor-secara-menyeluruh

9. http://filmindonesia.or.id/post/pajak-film-hollywood-membantu-film-nasional

3 comments:

jpmrblood said...

Rasanya gak adil kalo gw gak ninggalin komentar di sini, hehehe....

Ini, Nar:

http://filmindonesia.or.id/post/saatnya-membenahi-urusan-film-impor-secara-menyeluruh

Dan kayaknya sesuai dengan artikel warung kopi gw, ini argumen yang lebih ada data-datanya:

http://filmindonesia.or.id/post/bagaimana-sebaiknya-membantu-perfilman-indonesia

Intinya, kita sama-sama ingin film Indonesia maju. Tapi, gw gak suka sama status quo importir film sekarang yang menyamakan masalah penegakan aturan yang telah lama belum dilakukan dengan perfilman nasional. Itu namanya munafik.

Ramot said...

ada pendapat tentang ini?

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7196392

kunderemp said...

@Ramot: Lha.. kan makannya, si Noorca Massardi yang jadi wakil 21 juga kumaki-maki sebagak s****h perfilman. :D