Sunday, April 16, 2017

[Bukan Review] - Kartini




Pemeran: Dian Sastro, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Robert Ronny

Kartini: Kyai, adakah ayat AlQuran tentang ilmu ?
Kyai Sholeh: Iqra bismirabbika -lladzi khalaq ...

Itu adalah cuplikan dialog dari film Kartini versi terbaru buatan Hanung.
Di akhir abad 19, hiruk pikuk teriakan pembaharuan Islam yang dimulai di Timur Tengah sana belum masuk besar-besaran ke Pulau Jawa. Muhammad Darwis belum mendirikan Muhammadiyah apalagi Aisyiyah. Agus Salim, belum nekad membuka tabir laki-laki dan perempuan. Semua keberanian itu baru terjadi di awal abad 20. Kartini sendiri, melalui Kyai Sholeh Darat, mengerti bahwa Islam tidak memasung perempuan seperti yang dipercaya orang-orang Jawa di masanya, tetapi ia hanya mampu meminta sang kyai untuk menyelesaikan terjemahan AlQuran. Namun, ketika masa hidupnya, Kartini belum bisa mengandalkan Islam sebagai zeitgeist dalam menentang feodalisme patriarkal.


Tak heran Kartini akhirnya lebih dekat dengan orang-orang Belanda di masanya. Sejumlah penulis Belanda mempertanyakan struktur masyarakat yang dipegang di masa itu. Eduard Douwes Dekker misalnya, menulis fiksi Pelelangan Kopi Perusahaan Dagang Belanda (atau dikenal sebagai Max Havelaar) tahun 1860 yang menggugat abainya Pemerintah Kolonial Belanda pada kezaliman yang terjadi di Banten. Cecile de Jong, menulis novel Hilda van Suylenburg di tahun 1897, yang menjadikan tokohnya, seorang wanita menjadi pengacara. Mina Kruseman, mengritik tulisan Alexandre Dumas di tahun 1872 tentang hubungan pria-wanita.

Di awal 1890, dengan perubahan iklim politik di Belanda, politik etis mulai dijalankan di Hindia Belanda. Tentu saja tak semua Belanda punya niat tulus membantu rakyat jajahannya. Ada yang sekedar membutuhkannya untuk meraih kedudukan politik. Apapun motivasinya, Kartini memanfaatkan iklim tersebut untuk melakukan perubahan.

Kartini versi Hanung, bukanlah Kartini yang hanya perduli pada nasibnya, yang hanya menjerit nasibnya melalui surat-surat pribadi. Tidak. Hanung menampilkan Kartini sebagai sosok yang terinspirasi sosok Hilda, pembela kebenaran walau berjenis kelamin, dari novel yang ditinggalkan sang kakak, Sosrokartono. Menit demi menit, penonton disajikan usaha Kartini mengubah sistem feodal patriarkal, dari mempengaruhi kedua adiknya, menulis untuk dimuat dalam sebuah jurnal ilmu sosial tentang Asia Tenggara, hingga meningkatkan taraf kehidupan rakyat kabupatennya. Dahsyatnya, semua itu dilakukannya dalam tekanan kakak-kakak laki-lakinya serta ibu tirinya.

Musuh Kartini bukan hanya kakak-kakak dan ibu tirinya tetapi sistem feodal patriarkal. Sang ayah yang mendukung kegiatan Kartini dan adik-adiknya harus bertahan menghadapi serangan dari bupati-bupati lainnya. Beliau pun tak bisa mencegah ketika bangsawan lain menagih janji pernikahan adik Kartini dengan putranya.

Di tengah-tengah kemelut inilah, Kartini mencari jaringan pertemanan yang lebih luas seperti korespondensi surat dengan Stella. Ia pun juga mencari jalan melarikan diri dari kepungan tradisi melalui permohonan beasiswa sekolah ke Belanda, berharap menyusul sang kakak Sosrokartono.

Hanung Bramantyo, sudah tidak asing dengan genre sejarah biopik. Ini adalah film biografi ketiga yang ia buat setelah Ahmad Dahlan dan Soekarno. Kepiawaiannya memilih kru yang cermat menyiapkan properti untuk menciptakan ulang situasi zaman dahulu sudah tidak perlu diragukan lagi. Sepanjang film, kita melihat bagaimana ia mencoba menghindari penampakan jalan aspal dan sebaliknya, jalan berlandaskan pasir. Tentu saja, ada bagian yang tampak seperti anakronis tetapi jumlahnya cukup kecil.

Tentu saja, sebagai film, selalu ada kreativitas seorang sutradara. Kartini, misalnya, digambarkan biasa bermain panjat-panjatan dengan adiknya. Hanung juga tidak mau terkungkung dalam penggambaran "Kartini menulis surat", sehingga alih-alih menampilkan pena menari di atas kertas, ia memilih menggunakan imajinasi Kartini bertemu dan berdialog langsung penerima suratnya.



Ada hal menarik di akhir cerita ketika Kartini memberi syarat-syarat sebelum ia bersedia dinikahi. "Saya mengharuskan calon suami saya untuk membantu saya mendirikan sekolah buat perempuan dan orang miskin".

Untuk Hanung,
Kartini bukan sekedar pahlawan emansipasi wanita tetapi juga pahlawan pendidikan yang perduli pada orang-orang miskin.

0 comments: