Friday, October 06, 2017

"Esa" Dalam Pancasila, dari Bahasa Sansekerta-kah Ataukah Bahasa Melayu?

Pemikir Ali Shariati Menafsirkan Monoteisme

Akibat pernyataan Eggy Sudjana di sidang Mahkamah Konstitusi yang menjadi viral, diskusi tentang kata "Esa" muncul kembali. Mereka mengatakan bahwa "Esa" dalam Bahasa Sansekerta bukanlah "Eka" dan demikian sila pertama dalam Pancasila tidak menunjukkan monoteisme.

"Esa hilang dua terbilang" , pernahkah dengar pernyataan tersebut?
Ya, mereka lupa bahwa kata 'Esa' juga ada dalam Bahasa Melayu.

Mari kita tengok lagi bunyi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang diresmikan 18 Agustus 1945.

"... dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab... "

Apakah 'Esa' di kalimat itu adalah kata Sansekerta yang artinya tak umum diketahui orang termasuk penyusun kalimatnya (kecuali orang macam M. Yamin) ataukah dari Bahasa Melayu yang umum dikenal orang?

"Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak berarti orang Indonesia wajib memilih agama monoteisme sempit. Menurut hamba, sila ini, hanya menegaskan para penyusunnya mempercayai satu tuhan dan keyakinan itu melandasi bahwa manusia itu sesungguhnya satu umat apapun ras dan bangsanya.

Mungkin sebaiknya kita melihat tafsir Bung Hatta, salah satu anggota BPUPKI yang termasuk Panitia Sembilan yang merumuskan ulang pidato 1 Juni 1945-nya Bung Karno menjadi dasar negara yang kita kenal, dan kebetulan beliau juga yang mendesak agar sila 1 diubah agar tidak memecah belah bangsa Indonesia.

Dalam pidatonya kepada orang-orang Tionghoa di Yogyakarta tanggal 17 September 1946, Bung Hatta mengatakan (diterjemahkan ke Bahasa Inggris dalam buku Hatta : Portrait of Patriot ):

"The fact that the foundation of the State is based on belief in one God will enable us to avoid the disputes which can lead to so many disasters, because in the hand of God, one can achieve the unity of human desires. Following this principle leads the aim of our State into the path of international peace and brotherhood of all nations. If every nation felt that it was the subject to the guidance of the one God in its way of life, the ideals of all nations would fit in with the main characters of God, which is love, mercy, and justice". 

Seperti yang kita lihat, penafsiran Bung Hatta menegaskan bahwa "Esa" dalam sila pertama Pancasila adalah monoteisme dan pemahaman monoteisme Bung Hatta mirip dengan tafsir sosiologis tauhid-nya Ali Shariati.

Walaupun sila pertama Pancasila adalah bentuk ungkapan monoteisme, tidaklah sila ini ditujukan untuk mengekang agama lain dan memaksakan keyakinan monoteisme mutlak 'ala agama tertentu. Bahkan dalam pidato 1 Juni 1945-nya, Bung Karno menegaskan 'Prinsip Ketuhanan' tidak berarti satu tafsir.

"Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa"

Perhatikan bahwa Bung Karno tidak mengatakan "menyembah Tuhan" ketika menyebutkan agama Buddha tetapi "menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya". Jadi Bung Karno paham kebhinnekaan tafsir "Tuhan" yang ada dalam agama-agama di Indonesia.

0 comments: