Isu Pidato Soekarno di Semarang 1948 Tentang Hanya Stelsel Pasif
Ada yang sedang menyebarkan ringkasan pidato Bung Karno di Semarang tahun 1948 soal stelsel pasif untuk salah satu etnis tertentu ?
Saya jadi tergelitik ingin tahu sejarah peraturan kewarganegaraan di Indonesia dan...
TERNYATA di tahun 1946, RI menganut stelsel pasif, sesuai UU no 3 tahun 1946 Pasal 1 ayat b beserta pasal 4.
Artinya, sebagian besar keturunan Tionghoa di Indonesia adalah warga negara Indonesia secara otomatis tanpa embel-embel pendaftaran!
Namun setelah KMB tahun 1949 yang mengaktikan kembali strata sosial, dan kemudian pengakuan negeri RRT tahun 1950 sehingga muncul model kedwiwarganegaraan dan kemudian diubah jadi stelsel aktif berdasarkan UU no 62 tahun 1958 (lihat pasal 4 dari peraturan tersebut). Di sinilah baru muncul metode "pemerasan" yang puncaknya pada kebijakan SKBRI di masa orde baru.
Kembali ke (konon) ringkasan pidato Bung Karno tersebut, agak aneh, kalau jika beliau di tahun itu mengistimewakan satu "golongan" sebagai stelsel pasif. Ini antara ringkasan tersebut berbohong atau si pembuat ringkasan salah memahami pidato beliau. Selain itu pidato tidak seharusnya menjadi sumber peraturan.
Dalam tambahan tulisannya, si penyebar juga menegaskan dengan "fakta" bahwa Bung Karno menerbitkan PP no 10 yang "yang disetujui MPR" bahwa keturunan etnis tersebut status Kewarganegaan ‘Stelsel pasif’ yang sama dengan warga Pribumi yaitu otomatis dianggap dan dicatat sebagai WNI".
Saya bertanya, Peraturan Pemerintah no 10 tahun berapa? Karena PP no 10 tahun 1948 adalah tentang "Komisariat Pemerintah Pusat di Sumatra". Sementara "PP no 10" lain yang cukup terkenal adalah PP no 10 tahun 1959, tentang pembatasan "orang asing" berdagang eceran dan jelas tak relevan dengan pidato Soekarno tahun 1948 karena sudah ada UU baru tentang kewarganegaraan di tahun 1958.
Untuk cerita lebih lengkap tentang sejarah kewarganegaraan keturunan Tionghoa, mungkin sebaiknya baca tulisan yang ada di blog Lisa Suroso tahun 2007 ini.
0 comments:
Post a Comment