Saya Bukan "Pribumi" Jakarta
Ada masa saat saya tertekan menyadari saya bukan "pribumi" Jakarta sementara "pribumi"-nya tersingkir ke pinggir-pinggir kota. Sebagai anak pendatang dari Jawa, saya gelisah saat pertama mendengar kisah suku Betawi terpinggirkan karena mahalnya taraf hidup di tengah ibukota. Lalu saya harus bagaimana? Pulang ke kampung halaman walau ngomong bahasa Jawa ngoko saja gak becus?
Sekarang, setelah dipikir-pikir lagi, MH Thamrin pun sesungguhnya bukan murni "pribumi" Jakarta karena tubuhnya mewarisi gen pendatang. Walau demikian, di Volksraad ia kencang mengritik pemerintah kolonial yang abai terhadap "pribumi" Jakarta, mengindentifikasi dirinya sebagai "pribumi".
Setelah 72 tahun Indonesia Merdeka, saya menyadari, perasaan "tersingkir" dan "terjajah" itu masih ada. Pertanyaannya adalah, "terjajah" oleh siapa? Apakah narasi "pribumi" tepat untuk menggambarkan perasaan itu? Jawaban untuk pertanyaan kedua adalah TIDAK!
Tahun lalu saja, seorang "non-pribumi" terluka saat membela kampung yang sedang digusur.
Jauh sebelum KPK mengungkap kasus penyuapan reklamasi, kawan-kawanku yang "non-pribumi" sudah teriak-teriak di linimasa Facebook-nya menentang kebijakan Gubernur yang satu etnis dengan mereka. Mereka yang doyan teriak-teriak "Cina" justru adalah penumpang belakangan dalam isu reklamasi.
Pribumi punya konotasi negatif. Seseorang boleh berpendapat bahwa pribumi adalah semua orang yang asli lahir di daerah itu. Namun kalau bicara konteks kolonial, keturunan dari para pendatang pun tidak dianggap sebagai pribumi, kebijakan untuk mencegah terjadinya persatuan di antara warga, mempermudah penguasa mengawasi jajahannya.
Okelah, saya berbaik sangka bahwa "pribumi" yang dimaksud Anies adalah seluruh warga Indonesia di Jakarta. Namun reaksi-reaksi beberapa pendukung Anies yang menyebarkan perbedaan "keturunan Arab" dan "keturunan Tionghoa" dari berbagai sumber termasuk yang diragukan asalnya, tak pelak menegaskan pengertian "pribumi" yang digunakan adalah pemahaman warisan kolonial. Berdasarkan pengertian warisan kolonial ini, walau seseorang lahir di negeri ini, kakek mereka mungkin dari luar negeri tetapi sudah menanggalkan warga negara asal dan memilih Indonesia (atau pasca 1958 lupa melapor dan kelak pasrah "diperas" pakai SKBRI), dan ayah-ibu mereka bahkan pasrah tidak mengajarkan budaya leluhur mereka semasa orde baru demi "asimilasi", tetapi tetap saja mereka dicap sebagai "non-pribumi".
Ya, para "non-pribumi" yang dimusuhi itu, bahkan pernah kujumpai sedang belajar bahasa leluhurnya dari guru-guru "pribumi"!
Mau sampai kapan kalian memusuhi warga keturunan Tionghoa dan menganggapnya sebagai "non-pribumi" ?
Sampai pola pikir cuci otak ala Kolonial Belanda ini hilang, memang sebaiknya kata "pribumi" tidak dipakai dalam konteks apapun dan karena itu, Pak Habibie (yang kebetulan juga keturunan Arab) sudah benar dalam menerbitkan Inpres nomor 26 tahun 1998!
0 comments:
Post a Comment