Mengapa Bu Nuril Tidak Lapor Polisi Saja ?
Pada tahun 2015 di Cibinong, L, seorang ibu, menerima pengaduan putrinya (5 tahun) bahwa ia dilecehkan oleh tetangganya J. Sebagai seorang ibu, L pun melaporkan pelecehan seksual itu kepada polisi. Siapa sangka, pascapengaduan, si J melawan balik dengan menuntut 1 Milyar atas pencemaran nama baik. Dan penuntutan itu pun berlanjut hingga persidangan.
Untunglah, Pengadilan Negeri Cibinong masih waras dan gugatan itu ditolak karena "tidak adanya hubungan hukum yang jelas antara gugatan penggugat dengan tindakan tergugat". Selain itu, di persidangan lain tetapi di pengadilan yang sama, J dihukum atas pelecehan yang dilakukan.
Yang menarik adalah, PN Cibinong tidak menolak gugatan karena J terbukti bersalah tidak pula karena kurang bukti melainkan, secara subyektif, hakim mengatakan tidak ada hubungan hukum yang jelas antara gugatan penggugat dengan tindakan tergugat. Selain itu, ini membuktikan, melaporkan ke polisi pun masih bisa digugat atas pencemaran nama baik!
Berbicara tentang subyektivitas hakim, korban pelecehan seksual dalam hal ini adalah seorang anak kecil dan kemungkinan terjadi secara fisik, dengan demikian, lebih mudah menarik simpati.
Coba perhatikan kasus Bu Nuril.
1. beliau tidak dilecehkan secara fisik;
2. beliau "hanya" diperdengarkan sebuah cerita;
3. beliau wanita dewasa yang "seharusnya" bisa menutup telepon kapan pun;
Menurut anda, seberapa serius kah polisi akan menangani kasus pelecehan seksual ini? Kenyataannya, Dinas Pendidikan Kota Mataram yang menerima rekaman itu hanya memindahkan kepala sekolah bermasalah -- dan sekarang bahkan kabarnya kepsek tersebut dipromosikan -- dan bukannya membawa kasus ini ke polisi.
Pengadilan Negeri Mataram sudah memutus bebas Bu Nuril, tetapi berbeda dengan kejadian di Cibinong, jaksa membuat permohonan kasasi.
Korban pelecehan seksual dan kasus pemerkosaan seringkali tidak berani melaporkan ke kepolisian karena kepolisian sering tidak serius menanggapi tuduhan ini. Bahkan tidak jarang, proses melaporkan itu lebih traumatis daripada pelecehan seksual itu sendiri. Apalagi dengan beberapa kejadian mudahnya polisi memproses tuduhan 'pencemaran nama baik', ironisnya dalam kasus Cibinong, penggugat justru sudah dilaporkan ke polisi, atau dalam kasus Bu Nuril, penggugat justru dilaporkan ke pihak berwenang, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Mataram.
Satu hal yang perlu disadari, pencemaran nama baik itu BERBEDA dengan fitnah. Pada kasus 'Pencemaran Nama Baik' ketika si penggugat memang melakukan tindakan yang disebutkan, yang digugat tetap bisa dijerat. Itu sebabnya, penanganan kasus di Cibinong tidak perlu menunggu status hukum penggugat.
Tentu saja, bicara tentang UU ITE, mau tak mau publik teringat pada kasus Prita Mulyasari di tahun 2009, sebagai korban pertama UU ITE. Memang saat ini Prita bebas pasca peninjauan kembali yang diputuskan September 2012 oleh Mahkamah Agung namun sebelumnya, di tahun 2011, ia diputuskan bersalah oleh MA karena kasasi jaksa. Butuh tiga tahun ia mencari keadilan.
Apakah Baiq harus juga menempuh hal yang sama? Apakah masih perlu ada korban-korban lain untuk delik karet "Pencemaran Nama Baik" terus-terusan ?
0 comments:
Post a Comment