Friday, June 19, 2020

Ringkasan Peristiwa Perdebatan tentang Pancasila (dan pasal UUD 1945 terkait sila pertama)

1. Pidato Bung Hatta soal Agama dan Negara (di Sanyo Kaigi, sebelum BPUPK terbentuk);

2. Pidato Yamin 29 Mei 1945. Pidato yang tercantum dalam "Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" kemungkinan bukanlah pidato tanggal 29 Mei seperti yang disanggah Bung Hatta. Di dalam naskah pidato Yamin pun tertera pernyataan "Dua hari yang lampau Tuan Ketua memberi kesempatan kepada kita sekalian juga boleh mengeluarkan perasaan" padahal BPUPK baru mulai rapat tanggal 29 Mei sementara hari sebelumnya adalah apel pelantikan. Di naskah pidato tertera Yamin menyerahkan rancangan undang-undang tetapi di catatan notulis, tidak ada rancangan Undang-Undang yang disampaikan hari itu. Menurut Bung Hatta, M Yamin memang berpidato di hari itu tetapi bunyinya berbeda jauh.

3. AM Dasaad 29 Mei -> mengajukan Islam sebagai dasar negara

4. Mohammad Hatta 30 Mei -> naskah pidato belum ditemukan. Berdasarkan laporan Asia Raja, Bung Hatta menganjurkan agama dipisah dari negara, diduga kemungkinan pidato beliau serupa dengan pidato di Sanyo Kaigi.

5. Abdul Kadir, 31 Mei -> mendukung Islam sebagai bagian dari dasar negara.
 "Agama, jika Indonesia Merdeka sudah terbentuk, tidak boleh tidak agama Islam yang punya penganut banyak akan menjadi agama yang penting dengan sendirinya".

6. Soepomo 31 Mei -> menjawab beberapa pertanyaan teknis yang diajukan Bung Hatta pada tanggal 30 Mei sebelumnya. Sepakat dengan Bung Hatta untuk tidak menyatukan agama dan negara, mengutip Muhammad Abduh dan Ali Abdul Razik. 
"Akan tetapi, tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, yaitu golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul soal-soal "minderheden" (golongan minoritas), soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain. Meskipun negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-golongan lain itu, akan tetapi golongan-golongan agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara."

7. Ki Bagoes Hadikoesoemo, 31 Mei -> mengeluarkan argumen untuk mendukung Islam sebagai dasar negara.
 "Agama pangkal persatuan, janganlah takut di mana pun mengemukakan dan mengetengahkan Agama.... .... Padahal sebenarnya bukan hanya perkara agama saja yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan apabila diperbincangkan dengan tidak berdasarkan kejujuran, kesucian, dan keikhlasan. Perkara apakah bentuk negara kita ini republik atau monarki, serikat atau kesatuan, itu pun dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan yang amat hebat dan dahsyat."

8. Soekarno, 1 Juni.
"Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, - maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, - tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat."

9. 15 Juni, Tujuh anggota BPUPK dipimpin PA Hoesein Djajadiningrat, menyampaikan Rancangan Undang-Undang Dasar tanpa melalui panitia kecil yang dipimpin oleh Soekarno.

10. 22 Juni. Bung Karno mengadakan sidang panitia kecil, dihadiri 38 anggota Cuo Sangi In yang merangkap menjadi anggota BPUPK dan 38 ini memilih 9 orang menjadi tim kecil yang bertugas membuat pembukaan UUD 1945 termasuk Pancasila. Dilaporkan pada rapat BPUPK tanggal 10 Juli oleh Soekarno.

11. Soekarno, 10 Juli, melaporkan kerja tim 9 tentang dasar negara. "Allah subhanahu wa ta'ala memberkati kita. Sebenarnya adalah kesukaran mula-mula antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah subhanahu wa ta'ala memberkati kita sekarang ini; kita sekarang sudah ada persetujuan. Pada waktu sesudah sidang Cuo Sangiin kami mengadakan rapat 38 orang anggota-anggota dari Dokuritu Zyunbi Tyuoosakai di dalam kantor besar Jawa Hookokai. Pada waktu itu orang 38 ini membentuk lagi satu panitia kecil yang terdiri dari pada anggota yang terhormat, Soekarno, Hatta, Muh Yamin, Maramis, Wahid Hasyim, Soebardjo, Kiai AK Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim. Panitia 9 orang inilah telah berhasil baik, sesudah mengadakan pembicaraan yang masak dan sempurna untuk mendapatkan satu modus, satu persetujuan, antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Modus, persetujuan itu termaktub di dalam satu rancangan pembukaan hukum dasar, rancangan preambule hukum dasar, yang rancangan ini dipersembahkan, sekarang oleh Panitia Kecil pada sidang sekarang ini sebagai usul "

12. BPUPK, dari 64 anggotanya, 55 di antaranya memilih bentuk Republik.

13. Pada 13 Juli, terdapat perdebatan tentang agama presiden
Wahid Hasyim, mengatakan "Oleh karena itu diusulkan pasal 4 ayat (2) ditambah dengan kata-kata 'yang beragama Islam'. Jika presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam dan akan besar pengaruhnya. Diusulkan supaya pasal 29 diubah sehingga bunyinya kira-kira 'Agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dsb."
Agus Salim, menyanggah Wahid Hasyim. "Dengan ini kompromis antara golongan kebangsaan dan Islam mentah lagi. Apakah hal ini tidak bisa diserahkan kepada Dewan Permusyawaratan Rakyat? Jika presiden harus orang Islam, bagaimana halnya terhadap wakil presiden, duta-duta, dsb. Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?"
Soekiman, mendukung Wahid Hasyim, "pada hakekatnya tidak ada akibatnya apa-apa".
Djajadiningrat, menyatakan tak perlu dituliskan, "dalam praktek sudah tentu, jika yang menjadi presiden orang Indonesia yang beragama Islam karena itu setuju jika pasal 4 ayat 2 dihapuskan sama sekali."
Wongsonagoro, tercengang karena kompromis dimentahkan lagi.
Otto Iskandar Dinata mendukung dihapusnya pasal 4 ayat 2. Memasukkan kalimat dari preambule ke pasal 29 ayat 1, dan "negara menjamin kemerdekaan" ke ayat 2.
Wongsonagoro, mengusulkan pasal 29 ayat 2 ditambah dengan kata-kata "dan kepercayaan" antara kata-kata "agamanya" dan "masing-masing".
Ketua (Soekarno) setuju menghapus pasal 4 ayat 2 dan menerima usul Otto Iskandardinata dan Wongsonagoro.

14. Pada 14 Juli, terdapat perdebatan tentang bunyi sila pertama Pancasila.
Ki Bagus Hadikoesoemo tidak nyaman dengan bagian akhir kalimat sila pertama. "... apakah memuaskan seumpamanya di Indonesia ini diadakan larangan, wet larangan minuman keras untuk orang-orang Islam saja? Karena hukum itu rupanya cuma untuk orang-orang Islam saja. Budi Utomo waktu itu merasa dihina. Kalau diadakan wet yang begitu, itu merasa dihina, dan ini yang dari saya sendiri: Jikalau bunyi atau kata-kata itu berarti di sini akan diadakan dua peraturan, satu untuk umat Islam, dan yang satu lagi untuk yang bukan Islam, itu saya kira di dalam satu negara, tetapi saya punya permintaan, prakteknya barangkali nanti sama saja, rasa rasanya kurang enak. Lebih baik sama sekali tidak ada apa-apa."
Soekarno menyanggah keras, "Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya hanya mengatakan bahwa ini sebagai hasil kompromis itu yang diperkuatkan oleh Panitia pula. Cuma dari 'bagi pemeluk-pemeluk' dibuang maka itu mungkin diartikan yang tidak Islam pun diwajibkan menjalankan syariat Islam. Sekianlah".
Abikoesno mengatakan, ".. maka apa yang termuat di situ ialah buah kompromis antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan. Kalau tiap tiap dari kita harus misalnya yang membentuk kompromis itu, kita dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, ialah sebagaimana harapan tuan Hadikoesoemo. Tetapi kita sudah melakukan kompromis, sudah melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh Paduka tuan Ketua dari Panitia sudah dinyatakan bahwa kita harus dapat memberi dan mendapat. Untuk mengadakan persatuan, janganlah terlihat disini tentang soal ini dari steman. Nanti ada tanda yang tidak baik buat dunia luar. Kita harapkan sungguh-sungguh, kita mendesak pada segenap golongan yang ada dalam Badan ini sudilah kiranya kita mengadakan suatu perdamaian. Janganlah sampai nampak pada dunia luar bahwa kita dalam hal ini adalah perselisihan. Sekianlah".
Setelah ditanyakan ulang oleh Ketua Radjiman, Ki Bagoes Hardikoeosoemo menerima bunyi sila pertama.

15. Pada tanggal 18 pagi, Bung Hatta mengumpulkan beberapa kelompok dari PPKI untuk membahas penghapusan.

16. Pada tanggal 18 Agustus siang, pukul 11.30, Bung Hatta melaporkan penghapusan itu. 
"Oleh karena itu maka dapat disetujui, mislnya pasal 6 alinea 1 menjadi 'Presiden ialah orang Indonesia asli'. 'Yang beragama Islam', dicoret oleh karena penetapan yang kedua: Presiden Indonesia orang Islam, agak menyinggung perasaan dan pun tidak berguna, oleh karen amungkin adanya orang Islam 95% jumlahnya di Indonesia ini dengan sendirinya barangkali orang Islam yang akan menjadi Presiden sedangkan dengan membuang ini maka seluruh Hukum Undang-Undang Dasar dapat diterima oleh daerah-daerah Indonesia yang tidak beragama Islam... berhubung dengan itu juga berobah pasal 29. Ini bersangkutan pula dengan preambule. Pasal 29 ayat 1 menjadi begini: 'Negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa'. Kalimat yang di belakang itu yang berbunyi 'dengan kewajiban' dan lain-lain dicoret saja. Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa".

Ki Bagoes Hadikoesoemo hadir dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus siang itu, mengoreksi beberapa kata yang tidak terkait sila pertama.






Saya menulis ini sambil berkali-kali melihat "Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diterbtkan ulang oleh Aliansi Kebangsaan berdasarkan edisi ke-IV Sekretariat Negara Republik Indonesia tahun 1998 dan buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun oleh RM AB Kusuma yang diterbitkan oleh Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, edisi tahun 2016.

No photo description available.



Kutipan memoir Bung Hatta tentang lahirnya Pancasila bisa dibaca di:
http://tulisanhatta.blogspot.com/2017/06/lahirnya-pancasila-dikutip-dari-memoar.html


0 comments: