Jangan Lupa Adab Sebelum Review
Akhir-akhir ini sedang ada kontroversi pemilik warung yang ngamuk-ngamuk setelah mendapatkan review jujur. Sebagian warganet tampaknya lebih memihak peninjau dan sebenarnya pemilik warung memang ada salah. Namun bukan berarti si peninjau tidak lepas dari khilaf.
Harus dibedakan antara review yang dibuat oleh seorang pengunjung murni dengan review yang dibuat oleh "profesional". Review yang dibuat oleh pengunjung murni, biasanya dilakukan di tempat publik yang diisi banyak pihak seperti surat pembaca, forum pembaca, komentar di Google Place, yang sifatnya sporadis. Sebaliknya review yang dibuat oleh "profesional" biasanya dilakukan di media pribadi seperti blog pribadi yang sudah dikhususkan untuk review makanan, atau saluran tiktok, yang ditujukan untuk mendapat keuntungan, baik keuntungan langsung seperti finansial atau keuntungan berupa nama dan reputasi.
Mengapa pembedaan ini penting? Karena pemilik warung bisa saja menggugat secara hukum, entah pasal apa yang digunakan. Dan jika si peninjau mengkhususkan diri dalam membuat tinjauan-tinjauan warung makan dan memiliki reputasi, maka bisa jadi pencarian reputasi ini dijadikan landasan untuk menyerang balik, peninjau dianggap mencari keuntungan dengan menjelekkan pihak lain.
Warung yang sedang dibincangkan memang memiliki sejumlah kelemahan namun saya tidak melihat adanya usaha mengajukan keluhan langsung kepada warung tersebut, misalnya menegur pelayan. Tidak ada usaha memberikan kesempatan warung tersebut untuk memperbaiki sebelum menerbitkan hasil peninjauan.
"Tapi, kalau mereka diberi kesempatan, nanti mereka akan sengaja memperbaiki diri".
Bukankah itu tujuannya? Lagipula, pelayanan warung bisa menjadi bagian yang dikisahkan dalam tinjauan. Bisa saja dituliskan bahwa dalam keadaan ramai, kebersihan warung menjadi telantar hingga akhirnya pelayan harus diminta untuk membersihkan. Tidak ada kebohongan dalam hal itu tetapi warung juga diberi kesempatan untuk membenahi diri.
Jikalau mereka tak mau membenahi setelah diberi kesempatan, peninjau warung juga harus mempertimbangkan dahulu apakah perlu menyampaikan hal buruk tersebut. Jikapun perlu, apakah sudah siap menghadapi konflik. Adakah langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk meminimalisir dampak seperti dengan mengurangi visual yang terlalu mencolok untuk meredam emosi.
Dalam dunia jurnalisme, sebelum berita buruk tayang biasanya ada editor dan redaksi yang menentukan apakah akan tayang atau tidak. Jadi ada pertimbangan matang sebelum benar-benar tayang. Saya rasa pembuat konten pun juga perlu berpikir matang-matang sebelum mengunggah hasil jurnalisme warganya ke internet. Catatan:
Di Indonesia ada pasal pencemaran nama baik, yakni di KUHP lama pasal 310 sementara di KUHP baru (UU no 1 tahun 2023) di pasal 433. Walaupun pasal ini sebenarnya untuk pencemaran nama individu, tetapi MA melalui putusan no 183/K/PID/2010 sempat berpendapat badan hukum dapan menjadi obyek pencemaran nama baik walaupun di putusan itu MA mengabulkan kasasi terdakwa karena menurut MA badan hukum itu harus diwakili oleh Direktur Utama.
0 comments:
Post a Comment