Saturday, December 14, 2019

Mengapa Ketentuan Mewajibkan Sertifikat Halal pada Undang-Undang Jaminan Halal Harus Dicabut

Saat ini, menurut Undang-Undang Jaminan Halal,'produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal'.  Sertifikat halal sendiri memang nanti tidak dimonopoli MUI tetapi kriterianya tetap dari MUI seperti kata direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim saat diwawancarai CNN Indonesia pada tanggal 17 Oktober 2019, "Sedangkan yang sifatnya substantif misalnya pemeriksaan dan penetapan fatwa itu MUI tetap berperan secara mayoritas. Jadi kalau dilihat dalam prosesnya, pemerintah hanya menerima pendaftaran dan menjadi koordinator, lalu membagi ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)".

Jadi mari kita intip kriteria halal MUI dan silakan bayangkan apa yang terjadi ketika semua produk di Indonesia wajib bersertifikat halal dengan kriteria dari MUI. Saya mengutip dari Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM - MUI yang disusun oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia 2008.


"Persyaratan Auditor Halal Internal: a. Karyawan Tetap Perusahaan; b. Koordinator Tim Auditor halal internal adalah seorang muslim yang mengerti dan menjalankan syariat Islam."

Bisakah kalian membayangkan usaha-usaha kecil yang tidak punya cukup staf untuk membentuk tim auditor halal? Bisakah kalian membayangkan jika usaha-usaha kecil tersebut berada di daerah yang mayoritas non-Muslim seperti kawasan Indonesia Timur?



"Suatu peralatan tidak boleh digunakan bergantian antara produk babi dan non-babi meskipun sudah melalui proses pencucian"

Bisakah kalian membayangkan situasi di kantin kecil yang terdiri dari pedagang muslim dan non-muslim? Bisa jadi orang-orang non-muslim dilarang berjualan produk haram bersama pedagang muslim karena ditakutkan kontaminasi antara warung muslim dan warung non-muslim karena kriteria ketat yang menyebabkan warung Muslim tidak bisa mendapatkan sertifikat halal yang diwajibkan oleh Undang-Undang ini.


"Karyawan dilarang untuk membawa makanan dan minuman ke ruang produksi" 

Kekhawatiran tentang kontaminasi membuat karyawan dilarang untuk membawa makanan dan minuman ke ruang produksi. Tentu saja, dalam perkara rumah makan, kontaminasi tidak hanya dari karyawan tetapi dari pengunjung dan berdasarkan kriteria dari MUI, pencucian tidak menjadikan peralatan boleh dipakai kembali.

Itu sebabnya beberapa restoran yang mendapatkan sertifikat halal seperti Solaria melarang pengunjung membawa makanan dari luar.

Bisakah kalian membayangkan jika ketentuan ini diwajibkan pada warung-warung kecil seperti warung bubur kacang ijo di pinggir jalan?


Jangan salah artikan bahwa saya menentang sertifikasi halal tetapi mewajibkan sertifikasi halal dengan kriteria seketat itu adalah tidak realistis dan malah zhalim. Yang seharusnya diwajibkan adalah ketentuan membuka semua informasi bahan kepada pelanggan.

Sertifikasi halal sendiri, jika tidak diwajibkan, niscaya tetap akan dibutuhkan oleh produsen makanan karena sertifikat ini adalah bentuk perlindungan terhadap produsen misalnya melindungi diri dari tuduhan haram dari oknum tak bertanggung jawab. Karena itu, untuk mendapatkan sertifikat memang butuh komitmen kuat mematuhi kriteria pemberi sertifikat.

Namun perlu disadari bahwa tidak semua harus diwajibkan memenuhi kriteria itu.




Rujukan

Sumber pernyataan MUI tentang pengaruh MUI pascapelaksanaan UU Jaminan Halal:
Detik.Com. Sertifikasi Halal di Tangan Kemenag, MUI Masih Berperan Besar. (2019).  https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191017124156-20-440322/sertifikasi-halal-di-tangan-kemenag-mui-masih-berperan-besar (diakses terakhir tanggal 14 Desember 2019)

Sumber kutipan ketentuan MUI tentang jaminan halal.
 Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM - MUI. (2008). http://www.halalmui.org/images/stories/pdf/sjh-indonesia.pdf (diakses terakhir tanggal 14 Desember 2019)

0 comments: