Wednesday, July 01, 2020

[Bukan Review] GEN karya Siddharta Mukherjee -- Elitisme Saintis dan Sains Sampah




Judul Buku: Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan
Pengarang: Siddharta Mukherjee
Judul Asli: The Gene
Jumlah halaman: 634 halaman (tidak termasuk daftar pustaka)

Ada banyak sudut pandang untuk membaca karya Siddharta Mukherjee, bisa membacanya sebagai buku pengantar ilmu tentang gen, bisa pula membacanya sebagai curhat si pengarang mengenai kisah keluarganya, atau bisa juga sebagai peringatan dalam menyikapi sains. Saya memilih mengulas buku ini berdasarkan sudut pandang yang terakhir.

Salah satu pantangan dalam menulis tentang sains adalah melibatkan emosi di dalamnya. Siddharta, dengan berani melanggar pantangan ini dan membuka buku ini dengan kisah keluarga yang tercabik-cabik jiwanya akibat pemisahan India dan Pakistan. Tampak tidak relevan dengan topik buku, Siddharta mengisahkan tentang anggota keluarga yang menjadi tak waras karena terguncang akibat tercerabutnya mereka dari daerah asal mereka. Namun setelah kelahiran generasi kedua, tampak bahwa mungkin kegilaan ini juga terwariskan di generasi selanjutnya. Dengan melanggar tabu dalam penulisan sains, Siddharta menunjukkan bahwa sains dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, bukan sekedar topik nun jauh terisolasi di dalam laboratorium.

Saya sempat mengira, membaca GEN hanyalah membahas tentang apa yang kita ketahui tentang gen saat ini tetapi saya salah. Selain membahas perkembangan pengetahuan manusia tentang pewarisan sifat, GEN juga mengisahkan bagaimana bias yang dimiliki mempengaruhi sudut pandang orang berilmu dan bisa memiliki dampak sosial yang buruk. Ya, Siddharta blak-blakan dalam membahas sisi kelam penggunaan sains di sini.

Umumnya, berbicara tentang sejarah genetika, penulis sains akan memulai dari Mendel atau dari Darwin tetapi Siddharta menarik lebih jauh hingga masa Pythagoras, sekitar 530 tahun sebelum masehi. Pythagoras yang terkenal mengidolakan angka ternyata memiliki bias patriarkal menggelikan hingga mengeluarkan teori bahwa hanya pria yang menyumbang anak, sementara wanita hanyalah memberi nutrisi pada janin. Tentu saja teori ini bisa berdampak pada pandangan membunuh ibu atau wanita dianggap lebih ringan karena prialah yang menjadi sumber kehidupan.

Aristoteles, yang tidak punya reputasi sebagai feminis, menyanggah dengan logika. Jika memang manusia hanya sepenuhnya ditentukan oleh mani laki-laki, lalu darimana datangnya alat kelamin perempuan? Maka jelaslah perempuan juga punya andil dalam membentuk janin. Mengamati bahwa siklus menstruasi berhenti saat wanita hamil, Aristoteles menyimpulkan bahwa janin terbentuk dari darah menstruasi dan mani laki-laki. Kesimpulan yang sebenarnya kurang tepat tetapi bisa dimaklumi melihat pengetahuan di masa itu. Bukan hasrat "membela ketimpangan gender" yang menjadi motivasi Aristoteles tetapi cintanya kepada logika.

Babak selanjutnya yang cukup menggugah emosi adalah saat berkisah tentang biarawan bernama Mendel. Gregory Mendel memang bukan sosok yang jenius atau cerdas di bidang sains. Ia gagal berkali-kali dalam ujian tetapi ia punya bakat teliti dan tidak menyerah dalam meneliti. Dengan bahan penelitian yang kebetulan benar (karena ercis tidak berkembang secara aseksual, berbeda dengan beberapa bunga lain), ia meneliti tidak hanya dua generasi ercis tetapi pasti berlanjut hingga ke generasi-generasi selanjutnya. Dari penelitiannya, ditemukan bahwa komponen sifat yang diwariskan bersifat diskrit dan hasilnya bisa tersembunyi (resesif) dan muncul setelah beberapa generasi setelahnya. Di masanya, tak ada yang mengamati sejauh itu tetapi ironisnya, tak ada ilmuwan sezamannya yang peduli dengannya.

Mendel mengirim hasil-hasil penelitiannya ke jurnal yang jarang dibaca tetapi ia meminta empat puluh salinan dan dikirim ke beberapa ilmuwan tetapi sepi tanggapan. Salah satu ilmuwan yang menanggapi, dengan membalas dengan enggan, kadang kasar. Mendel, sebagai seorang peneliti amatir tidak dianggap oleh para saintis dan karyanya diabaikan hingga ia meninggal.

Bukan rekan-rekan biarawan yang kelak mengangkat Mendel tetapi ilmuwan lain, dua puluh tahun setelah kematiannya. Salah satu ilmuwan, terkejut melihat kemiripan percobaan Mendel dengan percobaannya sendiri tetapi mencoba menutupi nama Mendel saat mengumumkan hasil percobaannya. Sayangnya, ternyata bukan hanya si ilmuwan ini yang "tak sengaja" menemukan Mendel tetapi di masanya juga ada ilmuwan lain yang kemudian menegur ilmuwan pertama atas ketidaksopanannya "menjiplak" Mendel. Setelah ditegur, si ilmuwan pertama akhirnya mengakui bahwa Mendel sudah melakukan percobaan serupa tetapi tak patah arang, ia membuktikan bahwa ia sudah melangkah lebih jauh.  Ya, terkadang orang-orang sains pongah dan mengabaikan sejawat yang dianggap tidak sederajat tetapi budaya kejujuran akan memaksa para saintis untuk kembali pada jalan yang "benar".

Bagian paling menguras emosi dari GEN adalah ketika Siddharta menceritakan tentang eugenika, sejarah terkelam dari bidang genetika. Pandangan eugenik sudah ada di masa-masa awal ketika Mendel belum dikenal. Francis Galton, yang kebetulan sepupu Darwin, adalah yang pertama menggunakan teori bahwa kecerdasan itu diwariskan. Darwin, yang hanya membaca 50 halaman, memuji kabur sehingga Siddharta menafsirkan pujian tersebut hanyalah sebuah celaan halus. Usai Darwin meninggal, Galton mengungkapkan ide eugenika pada musim semi 1904 di London School of Economics. Tebak siapa yang ketus mengritiknya? Bateson, seorang ilmuwan yang meneliti gen (melanjutkan Mendel), yang melihat bahwa Galton rancu antara sifat yang tampak (fenotipe) dengan komponen yang diwariskan (genotipe). Walau dicela, Galton tetap bertahan dan delapan tahun kemudian, yakni setahuan setelah ia wafat, konsepnya dibahas dalam konferensi internasional yang dihadiri tokoh-tokoh ternama.

Berbicara tentang eugenika, biasanya para skeptis-terhadap-sains akan memberi contoh NAZI tetapi Siddharta memberi contoh yang lebih mengejutkan, kasus-kasus di Amerika Serikat. Siddharta mengisahkan secara intim tentang Carrie Buck dan ibunya, Emma, serta putrinya, Vivian. Bukannya menyelidiki kasus pemerkosaan, para pendukung eugenika menganggap perilaku Carrie Buck adalah warisan dan demi menyelamatkan masa depan, Carrie harus disterilisasi.

Siddharta, juga menunjukkan pada kejahatan yang dilakukan oleh kaum anti-eugenika, yakni para komunis Uni Sovyet. Ilmuwan terkemuka Uni Sovyet, Trofim Lysenko, dan para sejawat ilmuwan kiri percaya bahwa alamlah yang membentuk perilaku dan gen tak lebih dari khayalan para borjuis. Tentu saja ada para saintis yang mengritik tetapi Lysenko punya dukungan aparat politik. Para saintis yang menentang, seperti Nikolai Vavilov, dikirim ke penjara Saratov yang bereputasi buruk karena menyebarkan sains "borjuis".

Dua mazhab "sains" yang bertentangan, sama-sama menghasilkan kediktatoran. Apakah sains yang salah? Siddharta menunjukkan bahwa saintis seperti Theodosius Dobzhansky, justru bisa menunjukkan kelemahan dari masing-masing mazhab melalui percobaan yang ia lakukan dengan lalat-lalatnya. Dengan percobaan mengisolasi lalat dengan kondisi berbeda, ia menyadari bahwa tidak ada variasi yang lebih superior, lebih kuat dibandingkan variasi yang lain. Yang ada hanyalah variasi yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan.

Tema eugenika akan hadir dalam beberapa bab selanjutnya di mana saintis dengan ceroboh, mengajukan argumentasi bahwa ada perbedaan antara ras manusia seperti kecerdasan. Walau begitu, selalu ada saintis yang bisa melihat kelemahan dan melakukan percobaan tandingan dengan bias yang disingkirkan, sehingga bisa menjelaskan hasil dari si saintis ceroboh tetapi sekaligus juga membuktikan bahwa perbedaan karakteristik antar ras sebenarnya semu.

Pada awal 1970an, sejumlah saintis sudah mulai bermain-main dengan gen. Sanger sudah memperkenalkan cara membaca DNA. Siapakah yang pertama mengingatkan para saintis tentang bahaya ilmu mereka? Bukan para filsuf, bukan para agamawan, bukan para pengamat melainkan lingkungan sesama saintis sendiri.Pada tahun 1973, sejumlah saintis dari bidang virologi, genetika, biokimia, genetika hadir di Asilomar, yang menghasilkan buku Biohazard in Biological Research. Paul Berg tidak puas dengan hasil Asilomar dan memutuskan menyelenggarakan Asilomar II, kali ini bukan hanya para saintis tetapi juga mengundang pengacara, jurnalis, dan penulis. Hasilnya adalah sebuah panduan penelitian yang diterima bulat oleh para peserta. Para ilmuwan telah mengatur kode etiknya sendiri.

Tentu saja, seperti yang diakui oleh Paul Berg, ada hal yang hilang dari Asilomar II yakni etika dan moral dan saya yakin, pembaca yang religius atau filosofis akan tergoda untuk menjadikannya argumentasi bahwa bidang-bidang seperti agama dan filsafat tetap diperlukan. Saya, tidak menyetujuinya karena sejarah membuktikan, pemahaman kita tentang moral berkembang dari masa ke masa.

Contoh paling sederhana adalah, apakah penelitian yang dilakukan untuk menyelamatkan kaum "tak bermoral" dibolehkan? Seandainya ada sebuah penyakit, yang diketahui berkorelasi tinggi dengan sekelompok kaum yang dinilai "tak bermoral", apakah salah menyelamatkan orang-orang itu?

Pada awal 1980an, di Amerika Serikat sebuah penyakit menular terdeteksi. Menyadari bahwa banyak dari pengidap penyakit itu adalah laki-laki homoseksual, para dokter mulai menamainya GRID -- Gay Related Immune Deficiency. Surat-surat kabar menjulukinya "wabah homo".

Seorang religius yang gegabah, dengan berbekal data yang ada mungkin akan tergoda melarang penelitian yang membantu penanganan penyakit ini. Namun perusahaan kapitalis Genentech menyadari sejumlah pasien Hemofilia A terserang penyakit ini. Mereka sadar bahwa wabah baru ini menyebar melalui transfusi darah. Pasien Hemofilia membutuhkan protein khusus, Faktor VIII yang berperan dalam proses koagulasi darah. Mengabaikan stigma yang melekat pada wabah baru, mereka segera melakukan penelitian untuk menyintensis Faktor VIII sehingga bisa membantu pasien Hemofilia tanpa melakukan transfusi darah.

Ternyata wabah baru itu memang bisa menular melalui darah dan pada tahun 1987, pasien Hemofilia pertama disuntikkan Faktor VIII hasil teknologi rekombinan dan sukses. Walaupun datang terlambat, sebagian besar mati pada gelombang pertama, teknologi ini menyelamatkan nyawa.

Buku GEN mengonfirmasi bahwa dunia sains memang memiliki rekam jejak buruk, seperti yang dikhawatirkan oleh para pecinta teori konspirasi. Namun Siddharta juga menunjukkan bahwa bukan sains yang bermasalah melainkan ketika sains sampah, sains yang dibuat dengan bias politik, dengan bias ideologi, mengabaikan rambu-rambu seperti budaya kejujuran dan budaya terbuka terhadap kritik, maka saat itulah sains bisa dibajak ke arah hal-hal mengerikan.

Mengkritik sains bukanlah dengan bersikap pesimis terhadap sains, menganggap para saintis sebagai kaum dungu bin naif nan egois yang tak bisa mengatur dirinya, lalu pongah menganggap ilmunya tak tersentuh oleh tangan-tangan sains. Mengkritik sains adalah dengan memahami sains itu sendiri, menolak kemutlakan mitos kebenaran, menyadari bahwa segala konsep bisa saja salah karena itu harus siap disalahkan (falsifiable).

Mencegah sains disalahgunakan bukanlah dengan cara mengekang sains tetapi dengan membudayakan berpikir secara sains, agar masyarakat tidak mudah terpukau dengan klaim-klaim termasuk yang menyeret-nyeret nama sains sekalipun. Kabar buruknya, sebuah hal yang dianggap sebuah kebenaran bisa jadi kelak terbukti hanya sebagai "kemungkinan" karena tidak bisa direproduksi atau bahkan "tertolak".

Jangan terlalu khawatir melihat "elitisme" kaum saintis yang kadang tampak. Belajar dari kisah Mendel, seorang amatir pun bisa menembus lingkar elit ini.

0 comments: