Monday, May 29, 2006

Gelandangan.. oh.. Gelandangan

Aku gak akan menulis berlama-lama (karena aku menggunakan koneksi dial-up).

Cobalah baca berita di:
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/05/tgl/29/time/192346/idnews/604573/idkanal/10

lalu lanjutkan dengan berita dari sisi berlainan di:
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/05/tgl/29/time/201517/idnews/604591/idkanal/10

Lalu, cobalah baca-baca KUHP mengenai Pelanggaran Ketertiban Umum. Kalau kalian gak punya bukunya di rumah, aku mengutip dari situs:
http://www.asiamaya.com/undang-undang/kuhp/asiamaya_kuhp_penal_code_pelanggaran_umum.htm

Pasal 504

(1) Barangsiapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.

(2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Pasal 505

(1) Barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

(2) Pergelangdangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan


Inilah, wahai sobat!
Ini yang waktu itu aku ceritakan kepada dirimu.

Menurutmu, apakah peraturan ini manusiawi?

Tuesday, May 23, 2006

Tentang Allah

Ini adalah jawaban dari blog teman saya, Dimas Julian, yang isinya tentang keresahan dia yaitu

Kemudian soal topik yang lain lagi. Negara yang saya tinggali, yakni Indonesia, mayoritas beragama Muslim. Begitu dominannya kuantitas orang Muslim di Indonesia sehingga bahasa sehari-hari orang Muslim (misalnya Assalamu alaikum, Insya Allah, Alhamdulillah, dsb) juga kerap kali diucapkan oleh Non Muslim. Hal ini membuat saya merasa… ‘tuing-tuing’. Ngerti gak? Enggak yah? :P Andaikan saja saya mendapati situasi yang membuat saya reflek mengucapkan, “Oh my God”, atau “Astaghfirullah”. Instead of that words, saya mengucapkan “Aah.. Jesus Christ” yang membuat orang lain melipat tangan, memicingkan mata, dan berekspresi heran kepada saya. Yah, mungkin itu kurang lebih narasi definitif tentang ‘tuing-tuing’. Sori, mungkin agak gak jelas /:) . Saya gak bermaksud untuk memecah belah bangsa lantaran soal agama, cuman agak… ‘tuing-tuing’ ajah 8-|

Lakum diinukum waliyadiin, elu-elu gue-gue dalam soal agama…

Tadinya aku mau menjawab langsung di blog-nya tetapi entah kenapa, tiba-tiba blognya gak dikenali alias aku gak bisa ngirim komentar. Jadi kupikir, "Ya sudah lah.. taruh saja di blog-ku sekalian biar orang lain baca.. toh sudah beberapa tahun aku pengen nulis tentang ini tapi tak pernah kutulis".

Keresahan dia sebenarnya bisa dimengerti namun sebenarnya tak perlu bila mengetahui makna kata "Allah" sesungguhnya. Keresahan ini juga pernah jadi rumor, sehingga konon pernah ada surat dari MMI yang mendesak penerbit Alkitab untuk tidak menggunakan kata Allah di dalam kitabnya (seingatku surat tersebut ternyata hoax).

Di kawasan Arab sendiri, kata Allah juga digunakan oleh orang-orang Nasrani dan orang Yahudi tetapi tidak ada yang protes, karena mereka memahami dengan benar kata "Allah". [1]

Kata "Allah" tidak ada kaitannya dengan agama Islam (dalam pandangan sempit). Kata "Allah" sendiri sudah ada sebelum Rasulullah Muhammad S.A.W lahir (ingat nama ayahanda Rasulullah?).

Kata Allah dari segi bahasa berasal dari kata "Al-Ilah" (Ingat, bahasa Arab tidak punya huruf kecil dan besar) di mana "Al" menunjukkan sesuatu yang sangat penting sedangkan "Ilah" (yang sering diterjemahkan sebagai tuhan) menunjukkan sesuatu yang dicenderungi, yang engkau sangat percaya di mana orang-orang di sekitarmu sudah tak bisa kau percaya. Dengan kata lain, Allah berarti "The Deity" atau "Sang Tuhan" atau "Dewata Mulia Raya" dalam bahasa Melayu Kuno [2]. Ada pula yang mengatakan Allah berasal dari bahasa Syria, Alaha, namun tetap mempunyai arti yang sama [3].

Secara istilah, "Allah" dalam budaya Arab adalah "rabb-i-l'alamiin", tuhan penguasa alam semesta. "Rabb" mempunyai arti sebagai "Tuan", "Yang Mengendalikan" yang akar katanya juga menjadi kata-kata dalam bahasa Arab lain yang berarti 'ayah tiri', 'pendidik'. Jadi dalam kultur Arab sebenarnya, "Allah" bukanlah "Tuhan apatis" atau "Pencipta yang kemudian kurang kerjaan". Sebenarnya itu adalah hal wajar karena dalam gurun, seseorang akan lebih mempercayai bahwa ada penguasa yang mengatur segalanya[4]

Dalam budaya arab pula, Allah adalah Al-Khaliq (yang menciptakan alam semesta)[5], posisi yang sama dengan Chaos di Yunani[6] atau Ptah[7] di Mesir atau mungkin Iswara (Ishvara) di Hindu[8] atau mungkin Aten[9].

coba lihat ayat 13:16 [10], untuk lebih jelasnya definisi Allah dalam budaya Arab.



Jadi kata "Allah" itu netral, tidak bergantung pada agama tertentu. Selama mempunyai konsep yang sama, maka kata Allah juga dipergunakan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani di dunia Arab. Hanya orang-orang picik di negara-negara non-Arab yang menganggap "Allah" berarti tuhannya orang Islam yang berbeda dengan tuhan-tuhan lain seperti Jahweh. Orang-orang picik seperti ini berarti menganggap God berbeda dengan Tuhan. Lebih picik lagi mencoba menganggap "Allah" adalah sekedar tuhan (katakanlah: Dewa Bulan) dari sekedar banyak tuhan (politeisme) yang kemudian dicomot dan dijadikan satu-satunya tuhan[11].


Jadi mengatakan "Ya Allah" dengan "Oh Yesus" mempunyai pengertian berbeda. Mengatakan "Ya Allah" sama halnya dengan mengatakan "Ya Tuhan" atau "Oh God", yang mempunyai kenetralan lepas dari apapun agamanya. Sementara mengatakan "Oh Yesus" memang eksklusif milik umat Nasrani. Seperti halnya kata "He Ram" [12] cuma eksklusif milik umat Hindu (Gandhi mengucapkan ini sesaat sebelum ia tewas).

Jadi biarkan mereka yang beragama selain Islam menggunakan kata Allah selama pemakaiannya benar.

Salam,
Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A
Narpati Wisjnu Ari Pradana

Catatan: Jesus = Ieosus (Yunani) = Isa (Arab)

Nasrani (Arab) = Nazaerite = orang-orang dari Nazareth / orang-orang yang mengikuti agama dari Nazareth (di "Merchant of Venice"-nya Shakespeare, si Yahudi menyebut orang kristen sebagai Nazaerite)

Bacaan Lebih Lanjut:
[1] Wikipedia. Allah. http://en.wikipedia.org/wiki/Allah (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[2] Collins, James T. Malay, World Language: a Short History. Diterjemahkan menjadi Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat oleh penerbit Buku Obor tahun 2005.

[3] Answering Islam. The Origin of the Name Allah. Answering Islam. http://answering-islam.org.uk/Quran/Sources/alaha.html (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[4] Sapolsky, Robert. Are the Desert People Winning?. Discovery Magazine bulan Agustus 2005. Bisa dibaca di: http://www.discover.com/issues/aug-05/features/desert-people/ (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[5] Wikipedia. Creator Deity. http://en.wikipedia.org/wiki/Creator_deity (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[6] Wikipedia.Chaos: Primal Chaos. http://en.wikipedia.org/wiki/Chaos#Primal_Chaos (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[7] Wikipedia. Ptah. http://en.wikipedia.org/wiki/Ptah (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[8] Wikipedia. Ishvara. http://en.wikipedia.org/wiki/Ishvara (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[9] Wikipedia. Aten. http://en.wikipedia.org/wiki/Aton (diakses terahir 23 Mei 2006)

[10] http://www.islamawakened.com/Quran/13/16/default.htm (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[11] Saefullah, Juferi, David. Reply to Robert Morey's Moon-God Allah Myth: A Look at The Archaelogical Evidence. Islamic Awareness. http://www.islamic-awareness.org/Quran/Sources/Allah/moongod.html (diakses terakhir 23 Mei 2006)

[12] Lal, Vinay. 'Hey Ram': The Politics of Gandhi's Last Words. Manas. http://www.sscnet.ucla.edu/southasia/History/Gandhi/HeRam_gandhi.html (diakses terakhir 23 Mei 2006)

Tuesday, May 16, 2006

Permintaan Melarang Da Vinci Code

Jika Da Vinci Code Dilarang

Sepanjang pengetahuan saya yang awam ini, untuk pertama kalinya, dalam sejarah perfilman Indonesia, kalangan dari luar pemerintah dan bukan muslim meminta sebuah film dilarang. Film yang diminta dilarang tersebut adalah film yang mungkin ditunggu-tunggu oleh beberapa teman saya, yakni Da Vinci Code, yang dibintangi oleh Tom Hanks (Cast Away, Forrest Gump), disutradarai Ron Howard (Apollo 13, A Beautiful Mind) dan merupakan hasil adaptasi dari novel berjudul sama karya Dan Brown. Pihak yang meminta pemerintah (dalam hal ini Menkominfo) melarangnya, seperti yang diduga, berasal dari kalangan Nasrani, walau belum merupakan kebulatan suara, atau lebih tepatnya Persekutuan Injil Indonesia (PII). Sementara itu, Konferensi WaliGereja Indonesia (KWI) menyatakan tidak keberatan dengan pemutaran film tersebut. Lucunya, beberapa teman saya yang menggemari novelnya justru berasal dari kalangan Nasrani.

Lepas dari apakah film ini akhirnya dilarang atau tidak, seandainya pernyataan tersebut berasal dari seluruh kaum Nasrani di Indonesia atau minimal dari seluruh atau sebagian besar organisasi Nasrani di Indonesia, maka keputusan yang akan diambil dapat mempengaruhi konsep kebebasan dalam negara kita.

Bila film tersebut dilarang, maka beberapa buku dan film yang menyinggung sebuah agama (apapun itu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha), terpaksa harus juga dilarang agar pemerintah konsisten dengan kata-katanya. Perlu dicatat, B dapat tersinggung oleh pernyataan A walaupun A sudah menggunakan dalil-dalil yang jelas dan dengan tidak menggunakan kata-kata cacian, apalagi pemeluk agama cenderung menyikapi agamanya dengan tingkat nalar yang berbeda saat menghadapi masalah lain. (Ingat masalah kartun Denmark?).

Bila film tersebut tidak dilarang, maka tindakan dakwah, proselyte, misi menyebarkan sebuah agama ke pemeluk agama lain dengan menggunakan dalil-dalil yang mengungkap kelemahan (baik berupa kelemahan sesungguhnya maupun perbedaan tafsir) agama yang sudah dipeluk oleh obyek dakwah/misi, tidak bisa dilarang selama tidak melangkahi batas-batas ditentukan (seperti dengan tidak menghina secara eksplisit tokoh-tokoh dalam agama tersebut) agar pemerintah konsisten dengan keputusannya. Dengan kata lain, pemutaran film ini bisa mengubah peraturan tentang toleransi dan penyebaran agama walaupun sebenarnya cerita film ini adalah fiksi.

Tentu saja perlu diingat, bahwa implikasi yang saya sebutkan di atas akan terjadi jika mayoritas umat Nasrani merasa keberatan dengan pemutaran film tersebut. Jika permintaan tersebut hanya berasal dari beberapa organisasi yang tidak terlalu berpengaruh, maka pemutaran film tersebut mungkin tidak akan mempengaruhi situasi di Indonesia, sama halnya film-film sensitif lain seperti Stigmata.

Hormat saya,
Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A
Narpati Wisjnu Ari Pradana



Rujukan:
Detik.com. Menkominfo Diminta Larang "The Da Vinci Code". Detik.com (2006). http://www.detikhot.com/index.php/tainment.read/tahun/2006/bulan/05/tgl/16/time/165747/idnews/596111/idkanal/229 (Diakses terakhir 16 Mei 2006)

Bukan Lelaki Pilihan

Kalau Pria Patah Hati

Judul: Bukan Lelaki Pilihan; Diari yang Tidak Indah dan Hampir Dibakar
Pengarang: 'Zis Eno
Penerbit: Alinea, Jl. Gejayan Gg Buntu II No. 5A Mrican Yogyakarta
Tebal: 228 + xxx
Harga: 20 ribuan
Terbit: Januari 2005

Tema "Patah Hati" sebenarnya sudah berkali-kali menjadi tema dalam sastra, baik itu puisi, lagu, prosa, atau bahkan film. Namun sayangnya, tema ini lebih sering diperlihatkan dalam sudut pandang wanita, bahkan jika penulisnya lelaki sekalipun. Bila tema ini dituliskan dalam perspektif laki-laki pun, biasanya tidak dengan kejujuran terhadap diri sendiri dan hanya berupa emosi-emosi luar dan bersifat kekerasan seperti yang disuarakan lagu "Ancur" karya Iwan Fals untuk menunjukkan sakit hati tanpa mengurangi sifat kelaki-lakian. Padahal sesungguhnya proses patah hati buat seorang pria tidaklah mudah.

Percayalah,
patah hati buat seorang pria jauh lebih berat daripada patah hati seorang wanita. Pernyataan ini mungkin akan ditentang para wanita dan saya selaku penulis kata-kata tersebut akan dicap sebagai anti-wanita, pria sombong, sexism, diskriminasi gender, tidak sensitif, dan entah kata-kata apa lagi. Namun apa yang saya ucapkan bukanlah sekedar kata-kata kosong belaka, namun setelah melihat proses bagaimana seorang teman dekat yang mengalami patah hati hingga mengurung diri di kamar kost-nya kurang lebih dua minggu, atau setelah menyaksikan teman dari Cina Daratan yang pusing dengan keputusan yang harus diambilnya karena telepon kekasihnya, dan setelah mengalami sendiri betapa wanita adalah mahluk yang sungguh jadi cobaan berat setiap laki-laki.

Mengapa patah hati sangat berat bagi pria?
Pertama, sebagai seorang pria, ia mempunyai kewajiban tidak tertulis untuk bersikap tegar, berwibawa, tidak cengeng, bahkan dalam keadaan memilukan sekalipun. Perilaku-perilaku fardhu 'ain tersebut sudah cukup mengganggu dalam kehidupan normal, apalagi dalam kondisi yang sangat menyedihkan di mana para wanita dalam kondisi serupa bisa menangis sepuas hati tanpa harus takut dicela "banci".

Kedua, bahkan seandainya seorang pria mau menangis sekalipun, bahu siapakah yang bersedia menampungnya? Toh, wanita yang diharapkannya bersedia menampung curahan hatinya telah memutuskan tali kasih. Apakah ia harus menangis di bahu kawan laki-lakinya? Apa ada yang mau? Toh, salah satu sahabat 'Zis bernama Adhe dalam kata pengantarnya mengatakan:

Sejujurnya, aku bersimpati padanya dan memprihatinkan kenyataan yang dialaminya. Beberapa kali ingin kudekap tubuhnya, mewadahi benih-benih air matanya, atau membaringkan dan menyelimutinya biar hangat. Tapi aku tak melakukannya, selain karena dia tidak ingin menjadi pihak yang dikasihani, seperti dia bilang di buku ini, juga karena aku tak tertarik sama sekali pada sesama pria. Andai dia betina, aku pasti tahan mendengarkan dengung tangisnya yang mungkin akan menjangkau langit kedua puluh tiga...


Yah.. Mungkin hanya seorang gay yang bisa bebas dari tekanan-tekanan yang kusebutkan di atas. Berbahagialah mereka.

Tulisan-tulisan di buku ini, adalah tulisan-tulisan pribadi 'Zis yang konon nyaris dibakarnya. Melalui buku ini, kita diajak bagaimana tipikal seorang pria, yang diputuskan oleh kekasihnya, harus berpura-pura tegar, dan memang harus tegar untuk menjalani kehidupan barunya. Bagaimana kita melihat seorang pria-pria yang kepribadiannya nyaris terpecah belah, antara menyangkal dan menerima, antara tidak mau tahu dengan penasaran, antara tekad melanjutkan hidup dan meratap, antara menyadari kebodohannya dan tetap saja melakukannya, antara kenangan manis dan kutukan-kutukan.

Ini bukanlah kisah-kisah fiktif tentang seorang pria yang mau meracuni calon suami mantan kekasihnya atau tentang pria bodoh yang menenggak racun karena patah hati. Ini adalah kisah seorang pria yang mewakili banyak pria, yang di satu sisi mempunyai sisi emosional, namun di sisi lain dipaksa bersikap rasional. Ini adalah gambaran terdalam pria-pria patah hati, yang mungkin dari luar tampak seperti orang-orang yang tabah atau bahkan tidak perduli dengan wanita-wanita yang pernah mereka sanjung.

Tulisan-tulisan di buku ini, seperti layaknya buku harian, dibagi menjadi beberapa bab (lebih tepatnya tiga puluh sembilan bab yang disebutkannya sebagai "Catatan") sesuai dengan tanggal tulisan-tulisan tersebut ditulis. Dengan begitu, pembaca diajak menyelami pikiran 'Zis secara kronologis. Sayangnya, hingga Catatan Kedua Puluh Dua, ada tambahan setelah tanggal, yang ditandai dengan kurung siku "[ ]" berupa latar belakang tulisan-tulisan yang justru terasa mengganggu. Apalagi, tanpa catatan tambahan itu pun, tulisan-tulisan Zis sudah bisa dinikmati sebagai karya yang utuh tanpa perlu penjelasan apapun.

Selain tiga puluh sembilan catatan, di bagian awal dan akhir juga ditulis prolog dan epilog yang menjelaskan secara singkat apa yang telah terjadi pada kehidupan pengarang. Prolog dan Epilog ini, cukup memberi gambaran kehidupan pengarang sebelum dan sesudah tanpa harus membocorkan isi ceritanya sendiri.

Di bagian paling depan, setelah pengantar dari Penerbit, teman si pengarang yang bernama Adhe memberikan catatan pengamatan kehidupan si Pengarang yang ia kenal. Dengan singkat, pada awal kata pengantarnya, ia memberikan judul betapa ia kaget dengan kehidupan pengarang, yang dengan kata-katanya ia tuliskan "Lama Aku Mengenalnya, Tapi Aku Tak Cukup Tahu Kalau Dia Bisa Patah Hati Karena Cinta". Tipe-tipe persahabatan seperti ini adalah jenis yang sering kutemui di antara cowok di mana urusan cinta adalah urusan pribadi yang tak membutuhkan seorang sahabat.

Dengan kata lain, kalau anda seorang wanita dan berniat memutuskan hubungan anda dengan seorang pria, bacalah buku ini terlebih dahulu!




Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A
Narpati Wisjnu Ari Pradana

Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia
yang lebih tertarik membaca novel daripada buku-buku kuliah

Monday, May 15, 2006

Kualat

Tampaknya aku kualat karena menggambar Monas dan Gedung Sate yang meledak. Kurang lebih begini kronologinya:

Pertama-tama, aku punya janji kencan dengan Lis, menonton Heart-nya Hanny R. Saputra dan Chand Parvez. Namun setelah sampai di tempat tujuan, ternyata semua tiket filmnya telah habis.

Kemudian, kami merencanakan untuk pergi ke bioskop Wijaya. Namun nasib naas belum lelah menggoda kami. Surat Tanda Nomer Kendaraan yang selama ini kumasukkan ke dalam kunci motor ternyata adalah STNK mobil Toyota Corolla, bukan STNK motor Honda Supra tercinta. Sehingga, motor pun terpaksa ditahan. (Thx untuk Pak No yang berhasil mengeluarkan motor dari tempat parkir tersebut).

Setelah itu, kami pulang ke tempat Lis dengan menggunakan Bajaj. Namun belum seratus meter berlalu, Bajaj yang kami tumpangi amblas ke lubang di tengah jalan. Aku harus mengangkat dan mendorong Bajaj tersebut agar bisa keluar.

Di rumahku, sebuah kecelakaan juga terjadi. Mbak Tiah yang sedang mencuci piring, harus merelakan bajunya basah kuyup karena kran dapur yang tiba-tiba jebol.

Memangnya, apa yang salah dengan menggambar Monas dan Gedung Sate yang meledak? Padahal aku pengen gambar Fasilkom yang sedang meledak lho..


smile...

Blowing Up Gedung Sate

Ternyata susah kalau tidak menggambar dari awal..

Apinya tetap tidak terasa menyatu dengan foto..

Btw, fotonya milik Guntur Gandala yang bisa dilihat di: http://bandung.blogdrive.com/

Blowing Up Monas..


Hari ini.. di tengah kebosananku di lab 1227, dengan MS Paint dan Photoshop, aku melakukan hobi yang sudah lama tak kulakukan: Menggambar..

Berhubung alat-alat kurang lengkap dan aku sedang malas, akhirnya aku cuma ambil gambar Monas dari http://images.google.com/url?q=http://www.indonesiabogota.org.co/espanol/body_24.html , lalu kubengkokkan sedikit lalu kutambahkan api..

Well, tidak sebagus gambar-gambarku sebelumnya sih..

Contoh gambarku sebelumnya:

Wednesday, May 03, 2006

Intellectual Property Right's

The Student Union Candidate Campaign Theme: Intellectual Property Right's





Kemarin sore, kampusku, Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) Universitas Indonesia mendapat empat tamu yaitu dua pasang kandidat ketua dan wakil ketua BEM UI (alias dua wakil, dua ketua.. gitu lho). Tema yang dipilih mereka adalah "Sikap Mahasiswa terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual", topik yang cukup diakrabi oleh mahasiswa dari fakultas ini ([konon] seandainya tidak ada protes dari fakultas hukum, mungkin kita akan membuat seminar tentang HAKI berkali-kali).



Sayang sekali, ternyata pemahaman para kandidat tentang HAKI masihlah sedikit. Tantangan dan pertanyaan yang diajukan oleh rekan-rekan Fasilkom nyaris tidak bisa dijawab dengan tegas bahkan salah satu kandidat menjawab dengan bahasa birokrasi. Tidak heran ada yang berteriak-teriak, "Gue kagak ngerti ape kata lo!"



Lepas dari kekurangtahuan para kandidat tentang HAKI, kampanye seperti ini sebenarnya berguna untuk dua hal. Pertama, sarana kampanye kita, sebagai mahasiswa yang paham sebuah topik (misalnya, dalam hal ini mahasiswa Fasilkom yang lebih mengerti tentang HAKI terutama dari sudut penerapan di bidang ilmu komputer [seperti menggunakan piranti lunak legal]) terhadap khayalak luas. Kedua, sarana kita menyampaikan aspirasi atau tuntutan kepada BEM. Namun, sayangnya, kekecewaan mahasiswa Fasilkom terhadap para kandidat sangat besar sehingga keuntungan-keuntungan ini tidak dapat kita manfaatkan sebaik mungkin.



Salah satu aspirasi yang ingin saya sampaikan ke mereka namun tampaknya tidak begitu ditangkap karena suasana yang emosional adalah keinginan saya agar BEM UI, dalam rangka mendukung riset di Universitas Indonesia dan dalam rangka menjaga baik hak cipta maupun hak paten terhadap karya-karya yang lahir di kampus kita tercinta, membuat atau menerbitkan dokumentasi. Dokumentasi- dokumentasi pembanding (prior art) sangat penting artinya terutama dalam pengadilan kasus-kasus HAKI [1].



Permintaan saya ini, sayangnya hanya dijawab ringan oleh salah satu kandidat, yakni mereka memang akan membuat media seperti ini. Sayangnya, ucapan mereka selanjutnya, meruntuhkan harapanku, yaitu dengan nada diplomatis mereka hanya akan bersikap pasif menunggu mahasiswa UI mendaftar karya-karya mereka. Ini adalah kesalahan yang persis sama dengan kesalahan Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam menangani problem Pengetahuan Tradisional. Hal ini bisa dilihat di situs mereka, bagaimana mereka menunggu seseorang untuk mendaftar jamu-jamu tradisional dan itupun mereka masih belum membuat prosedur pendaftarannya [2].



Mengapa sikap seperti ini salah?
Birokrat kita di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sesungguhnya menyadari masyarakat kita tidak sadar terhadap hak atas kekayaan intelektual yang mereka miliki. Jika para birokrat kita benar-benar berniat melindungi mereka ini, maka seharusnya mereka aktif dalam mencari karya-karya masyarakat kita dan mendatanya. Hal yang sama juga berlaku terhadap BEM UI. Jika mereka benar-benar berniat melindungi karya-karya mahasiswa UI, maka seharusnya bukannya pasif menunggu mahasiswa-mahasiswa UI mendaftar karyanya melainkan aktif mencari dan mendata karya-karya mahasiswa UI. Mereka seharusnya belajar dari Pemerintah India, dengan proyek Perpustakaan Digital Pengetahuan Tradisional / Traditional Knowledge Digital Library (TKDL) yang serius mendaftar tanaman-tanaman, jamu-jamu, dan bahkan postur-postur Yogya demi melindungi rakyat India dari eksploitasi pemilik hak paten atas sesuatu yang sesungguhnya bukan miliknya.



Jika BEM UI serius terhadap saran saya, maka sebaiknya mereka juga harus berhati-hati. Pada kampanye kemarin, para kandidat tampak tidak bisa membedakan apakah yang dimaksud dengan hak cipta dan apakah yang dimaksud dengan paten. Terbukti mereka tidak bisa menjawab dengan tepat, bagaimana cara mendaftarkan paten, hak cipta, dan hak-hak lain. Seorang kandidat lain, sanggup menjawab namun tampaknya masih tidak mengerti, terbukti tidak menyebutkan fakta bahwa hak cipta langsung diakui tanpa perlu proses pendaftaran, terbukti dari definisi hak cipta sendiri menurut Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta no. 19 tahun 2002: "Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".



Tanpa pengetahuan yang memadai, sebuah niat baik justru akan menjadi alat mencelakakan. Hal ini sudah terjadi berkali-kali saat seorang wartawan idealis, mewawancara seorang penemu dari Indonesia, yang akan mematenkan temuannya sementara Pasal 3 Undang-Undang Tentang Paten No. 14 tahun 2001 menyatakan temuan yang diumumkan (dipublikasikan) sebelum Tanggal Penerimaan tidak akan dianggap baru sehingga tidak akan bisa dipatenkan.

Ah...
Marilah kita lihat, apakah ucapan-ucapan kandidat-kandidat kemarin hanyalah sekedar basa-basi belaka atau benar-benar niat tulus dari hati para kandidat.



Referensi:

[1] Wikipedia. Prior Art.
(2006). http://en.wikipedia.org/wiki/Prior_art (diakses terakhir kali
pada 3 April 2006)



[2]. Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Prosedur Permohonan Pendaftaran Pengetahuan Tradisional. (2003).
http://www.dgip.go.id/article/archive/13/ (diakses terakhir kali
tanggal 3 April 2006)

Yesterday afternoon, my campuss, Faculty of Computer Science / Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) had four guests. They were two pairs of candidates of president and vice president of Student Union/ Badan Eksekutif Mahasiswa University of Indonesia/ Universitas Indonesia (BEM UI). The theme was, "Intellectual Property Rights / Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI/IPR) in the student's eyes", which was a familiar topic to student from this faculty. (Someone said) if there was no any protest from Law Faculty, perhaps we would have made conference about Intellectual Property Rights.



Unfortunately, the candidates' understanding about IPR was less than unadequate. Challenges and questions from Fasilkom Student were unanswered and even one of the candidates always speak in vague words like bureaucrats. It was not unexpected when a student shout, "Gue kagak ngerti ape kata lo! (betawi words: I didn't understand what you said!)".



Regardless candidates' lack of IPR knowledge, this kind of campaign should be useful for at least two things. Firstly, the campaign could be use for our purpose (instead of them), as students who were understood a topic more than others (i.e, Fasilkom Student understood IPR better especially in application aspect in Computer Science area [such as using legal software]) campaign this issue to public. Secondly, the campaign could be a place where we told them (BEM UI) our demands. Unfortunately, our disappointment to the candidates made us unable to exploit this advantages.



One of my ideas which I have told them which was seemed not to be seen by the candidates due to emotional rage, in order to support research in Universitas Indonesia (UI) and protect the copyright and patent of creation which were born in our beloved college, is asking BEM UI to made or publish a documentation. These documentations, hopefully, can be used as prior art which is very important in trial of IPR [1].



My question, unfortunately, was trivially answered by a candidate, which said they had the same concept. Their next answer disappointed me. In diplomatical language, they told us they will be passive, waiting for UI students register their creation. This kind of reaction was the same mistake done by Directorate General of Intellectual Property Rights, Department of Law and Human Rights Republic of Indonesia in handling the problem of Traditional Knowledge. This kind of attitude can be seen in their website, how they were waiting someone registering traditional herbs (and they haven't decide the process of the registration!) [2].



Why this kind of attitude is a mistake?
I believe our bureaucrates in Department of Law and Human Rights realize our people are unaware of their rights on Intellectual Property. If our bureaucrates have a goodwill to protect them, they should be active in searching and collecting data on traditional knowledge from our people. The same attitude should be applied to BEM UI. If they had a goodwill to protect UI student's creation, then instead of waiting the student registering their research result, they should be active in searching and collecting data on UI student's research. They have to learn from India Government who protect India
people from exploitation of patent owners who weren't the real owner at all, by actively listing plants, herbs, and even Yoga posture to Traditional Knowledge Digital Library (TKDL).



If BEM UI accept my advise, they should be careful. In yesterday campaign, the candidates could not differentiate which one was copyright, which one was patent. It was proven when they were unable to give an exact answer how to register patents, copyright, and other rights (such as trade mark, etc). Another candidate was able to answer but he was seemed not to be understand. It was implied by the fact he didn't mention that a copyright is acknowledge without a process of registration, based on the definition of Copyright in Article 2 of Republic of Indonesia's Bill of Copyright no. 19 year 2002: "A Copyright is an exclusive right for the creator of the Bearer of Copyright to publish or copy his/her creation, which is existed automatically when a creation was created without reducing the limitation according to any existing regulation".



Without adequate knowledge, a goodwill may turn into disaster. It happened many times when an idealist but not smart reporters, interviewed an inventors from Indonesia, who had a plan to patent his/her invention while Article 3 of Republic of Indonesia's Bill of Patent No. 14 year 2001 stated that an invention which published before acceptance date will not be considered as new and thus will be unable to be patented.



Sigh...
Let's watch, whether what the candidates said yesterday was just a vain talk or a pure goodwill.



References:

[1] Wikipedia. Prior Art.
(2006). http://en.wikipedia.org/wiki/Prior_art (Last accesed at 3 April
2006)



[2] Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Prosedur Permohonan Pendaftaran Pengetahuan Tradisional. (2003).
http://www.dgip.go.id/article/archive/13/ (diakses terakhir kali
tanggal 3 April 2006)