Ingkar Janji tentang AAC dan Lari dari Blora
Lagi sibuk dan malas nulis...
Kok resensi AAC sih,
alih-alih menulis di sini malah menjawab di AK dan Kopimaya
http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=20616&start=21
Mengutip dari tulisanku di AK
dan mengutip dari Kopimaya:
Untuk film Lari dari Blora,
Komentarku hampir sama seperti komentar pratayang
http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2007/07/pratayang-lari-dari-blora.html
Hanya beberapa yang perlu kuperbaiki yakni,
untuk bagian 4, yakni Seks Bebas...
Aku bersyukur bahwa tidak ada adegan seks eksplisit dalam film ini. Mungkin akan ada yang kecewa tetapi menurutku itu pilihan terbaik. Selain itu, kisah dua pasangan tersebut mendukung kisah utama, yakni pandangan orang-orang terhadap Samin, dalam hal ini, tokoh cowok tadinya memperdaya perempuan Samin (karena ia merasa tidak perlu takut terhadap orang Samin yang lugu) namun tampaknya, di bagian akhir, pandangan si cowok sudah mulai berubah.
Buat kalian yang kecewa...
tenang..
ada adegan bule berenang telanjang. Adegannya tanpa sensor dan cukup panjang.. hihihihihihi
Kemudian pada bagian ketiga, yakni subversivisme ( ---hihihi, aku masih menggunakan kata subversi tuh, mbak Ari ---), ada catatan tambahan.
Di sini ada dua pihak pemerintah, yakni pemerintah desa (diwakili Pak Camat, Pak Lurah, dan polisi setempat) dan pemerintah 'pusat' (baru muncul di akhir cerita). Pemerintah desa lebih berperan sebagai penengah walau di akhir cerita, mereka harus gigit jari karena pemerintah 'pusat' lebih memilih mencari kenyamanan untuk tidur (baca: menghancurkan musuh walaupun belum terbukti).
Sikap Pemerintah 'Pusat' mungkin bisa dianalogikan seperti lelucon berikut:
Yup..
Seperti itulah gambaran betapa paranoidnya Pemerintah 'Pusat' di film Lari dari Blora.
Kemudian untuk bagian kedua, mengenai benturan budaya. Ternyata, benturan budaya sebenarnya bukan antara Ramadian, sang guru idealis dan tokoh yang diperankan oleh Rendra melainkan keinginan antara Ramadian dengan keinginan Pak Lurah. Di film ini tokoh Pak Lurah tampak ambigu, apakah ia murni ingin menjaga perasaan para wong sikep ini atau ada motif ekonomi agar daerahnya menjadi tujuan wisata.
Sejujur aja,
film ini tampak seperti FTV dengan kualitas gambar seperti TVRI. Tetapi dengan kamera pas-pasan pun, film ini bisa menggambarkan keindahan Blora sampai membuatku bertanya-tanya, "apakah yang asli benar-benar indah sampai dengan kamera jelek pun dengan sudut pengambilan gambar pas-pasan pun, keindahannya tetap terasa?".
Kok resensi AAC sih,
alih-alih menulis di sini malah menjawab di AK dan Kopimaya
http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?t=20616&start=21
Mengutip dari tulisanku di AK
Tetapi kesalahan fatal orang adalah bila membandingkan film dan buku.
The Shining yang dibuat oleh Stanley Kubrick lebih mirip Thriller Psikologis sementara novelnya sendiri yang dibuat oleh Stephen King hanyalah cerita horor belaka (dan Stephen King tidak suka hasil adaptasinya).
V for Vendetta yang dibuat oleh James McTeague (dengan skenario Wachowski bersaudara) lebih bertema tentang perjuangan V sendirian melawan pemerintahan Tirani. Sementara komiknya, lebih bersifat anarkis di mana V tidak percaya pada ideologi apapun termasuk yang memperjuangkan keadilan sosial (tokoh V lebih ambigu dan komiknya di akhiri dengan kerusuhan) dan Alan Moore tidak suka hasil adaptasinya. Tokoh Evey yang di komik adalah pelacur cilik, di film menjadi putri dari pasangan aktivis.
Jujur aja, aku sangat tidak tertarik pada novelnya. Aku tidak tertarik pada tokoh sempurna macam Fahri versi novel, tidak tertarik pada wanita cantik nan kaya seperti Aisyah versi novel.
Justru karena itu, aku menyukai perubahan yang dilakukan Hanung, yakni menjadikan Fahri menjadi rata-rata aktivis Indonesia pada umumnya (idealis tapi naif) dan menjadikan banyak hal impian dalam novelnya (seperti pernikahan Hanung dan Aisyah, atau poligaminya) menjadi tampak berat (seperti Fahri yang tertekan karena Aisyah lebih kaya atau bingung memilih antara dua kamar --- sumpah.. adegan bingung memilih antara dua kamar adalah adegan favoritku).
dan mengutip dari Kopimaya:
yang gue suka dari AAC
1. Fahri... gue bersyukur bahwa Hanung mengubah karakter Fahri. Kalau tidak, gue mungkin gak mau nonton
2. hidup tidak indah... pernikahan Fahri dan Aisyah tampak berat (apalagi ditambah poligami). Setidaknya yang nonton bisa mikir2 lagi kalau mau menikahi orang kaya. Kawan-kawan yang baca novel (tapi belum nonton) rata-rata mengatakan ,"enak yah punya istri seperti Aisyah".. Tapi kalau udah nonton... hmm.. mikir2 dulu deh.
3. musik di dua pertiga awal film. Salut buat Tya Subiakto... sayang di bagian akhir terdengar megap-megap (PS: di bajakan, musik garapan Tya belum muncul)
4. carissa putri tampak kereen di sini. Aku tidak tahu seperti apakah wanita koptik (walau aku pernah terpesona melihat seorang jilbaber dari Mesir) tetapi wajahnya tampak eksotik.
5. Saiful... Seperti inilah seorang kawan idaman.
6. Tulisan-tulisan arab gundul di sepanjang jalan. Aku cuma bisa baca "Bayti Jannati". Yang lainnya sih sulit kubaca, termasuk buku hariannya Maria (kecuali Dhurqada -- tapi kok dibaca Hurgada yah?).
Yang gak gue suka dari AAC
1. si penjahat... ampuuuun....... India banget...
2. pemilihan Rianti Cartwright sebagai Aisyah.. Kalau masih pakai cadar sih, tidak apa-apa.. tapi begitu rambutnya kelihatan, nuansa eksotiknya hilang.
3. botol teh dengan merek Nu Tea... ampuuuun....
4. adegan pencarian orang tua Noura terlalu singkat
Yang gue tolerir
1. banyak adegan indoor (seperti kata Oni di forum tetangga.. kendala teknis)
2. adegan ciuman, adegan melepas jilbab
3. Nurul yang tidak terlalu diperhatikan (hanya sekilas-sekilas)
4. lipsync adegan tallaqi
5. Fedi nuril terbata2 menjelaskan Islam ke wartawan.
6. Carissa Putri tampak aneh saat membaca salah satu Surat Quran. (walaupun perannya bukan muslim, tetapi sebagai orang Arab seharusnya cukup lancar)
Untuk film Lari dari Blora,
Komentarku hampir sama seperti komentar pratayang
http://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2007/07/pratayang-lari-dari-blora.html
Hanya beberapa yang perlu kuperbaiki yakni,
untuk bagian 4, yakni Seks Bebas...
Aku bersyukur bahwa tidak ada adegan seks eksplisit dalam film ini. Mungkin akan ada yang kecewa tetapi menurutku itu pilihan terbaik. Selain itu, kisah dua pasangan tersebut mendukung kisah utama, yakni pandangan orang-orang terhadap Samin, dalam hal ini, tokoh cowok tadinya memperdaya perempuan Samin (karena ia merasa tidak perlu takut terhadap orang Samin yang lugu) namun tampaknya, di bagian akhir, pandangan si cowok sudah mulai berubah.
Buat kalian yang kecewa...
tenang..
ada adegan bule berenang telanjang. Adegannya tanpa sensor dan cukup panjang.. hihihihihihi
Kemudian pada bagian ketiga, yakni subversivisme ( ---hihihi, aku masih menggunakan kata subversi tuh, mbak Ari ---), ada catatan tambahan.
Di sini ada dua pihak pemerintah, yakni pemerintah desa (diwakili Pak Camat, Pak Lurah, dan polisi setempat) dan pemerintah 'pusat' (baru muncul di akhir cerita). Pemerintah desa lebih berperan sebagai penengah walau di akhir cerita, mereka harus gigit jari karena pemerintah 'pusat' lebih memilih mencari kenyamanan untuk tidur (baca: menghancurkan musuh walaupun belum terbukti).
Sikap Pemerintah 'Pusat' mungkin bisa dianalogikan seperti lelucon berikut:
Seorang pemuda sedang dalam perjalanannya kembali ke Jakarta dengan kereta Senja Utama. Persis didepannya duduk seorang bapak.
Setelah lama berdiam diri, sambil menguap si pemuda bertanya kepada bapak tersebut, "Jam berapa sekarang, Pak?"
Sebuah pertanyaan yang biasa kita tanyakan dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun khan??? Dan biasanya kita selalu dapat jawaban. Namun kali ini sungguh diluar dugaan, si bapak diam saja. Mengira sang bapak agak kurang pendengarannya, pemuda tersebut mengulanginya sampai 3 kali.
Namun si bapak diam tidak bergeming sedikitpun. Karena kesal, pemuda tersebut langsung mencolek bapak tersebut dan berkata, "Saya heran mengapa bapak tidak menjawab pertanyaan saya?? Apa sich susahnya?"
Si bapak bilang, "Bukannya saya nggak mau menjawab, tapi nanti kalau saya jawab, kita pasti ngomong-ngomong lagi soal ini soal itu, sampai nanti kita jadi akrab".
Si pemuda melongo mendengar ceramah bapak tadi.
Terus dia tanya lagi, "Lalu apa salahnya kalau kita akrab?"
Si bapak bilang, "Nanti anak gadis dan istri saya akan menjemput saya di Gambir,kalau kita akrab, nanti kita akan turun sama-sama. Terus saya pasti mengenalkan mereka sama kamu."
Si pemuda tambah bingung dan penasaran. "Terus pak??" tanyanya lagi. "Istri saya tuch orangnya baik sekali sama semua orang, nanti dia pasti nawarin kamu mampir
ke rumah. Nanti kamu mandi di rumah saya, terus makan di rumah saya.
Nanti lama-lama kamu bisa akrab sama anak gadis saya dan kamu bisa jadi pacar anak saya. Lama-lama kamu bisa jadi menantu saya," katanya lagi.
Si pemuda yang tadi sudah bingung sekarang makin bingung. Lantas dia tanya, "Terus apa hubungannya sama pertanyaan saya yang pertama??"
Sambil berdiri bapak tersebut menjawab dengan lantang,
"Masalahnya? ...,
SAYA TIDAK MAU PUNYA MENANTU SEPERTI KAMU. JAM TANGAN
AJA NGGAK PUNYA!"
Yup..
Seperti itulah gambaran betapa paranoidnya Pemerintah 'Pusat' di film Lari dari Blora.
Kemudian untuk bagian kedua, mengenai benturan budaya. Ternyata, benturan budaya sebenarnya bukan antara Ramadian, sang guru idealis dan tokoh yang diperankan oleh Rendra melainkan keinginan antara Ramadian dengan keinginan Pak Lurah. Di film ini tokoh Pak Lurah tampak ambigu, apakah ia murni ingin menjaga perasaan para wong sikep ini atau ada motif ekonomi agar daerahnya menjadi tujuan wisata.
Sejujur aja,
film ini tampak seperti FTV dengan kualitas gambar seperti TVRI. Tetapi dengan kamera pas-pasan pun, film ini bisa menggambarkan keindahan Blora sampai membuatku bertanya-tanya, "apakah yang asli benar-benar indah sampai dengan kamera jelek pun dengan sudut pengambilan gambar pas-pasan pun, keindahannya tetap terasa?".
2 comments:
Lari dari Blora bagus ya keliatannya. Sayang disini gak keluar :(
Pusing tapi caranya switching dari bahasa arab dan bahasa indonesia terus bahasa jerman dan bahasa inggris...
pokoknya intinya semuanya saling mengerti dah...
Post a Comment