Wednesday, March 19, 2008

Memang Bukan Yogya!

Saya benci film "3 Hari Untuk Selamanya". Film paling sampah dan satu-satunya film yang membuatku menyesal mengeluarkan uang. Biasanya, sejelek apapun film yang kutonton, tak pernah aku merasa menyesal mengeluarkan uang, tapi film ini benar-benar menjijikkan.

Kenapa?
Karena pembuat film gak tahu apa-apa!
Semua kawan-kawan dari Yogya yang kebetulan nonton bersamaku saat itu di bioskop Cilandak Town Square, sangat kecewa dengan film itu.

Tulisan Grace Samboh, Eksotisme Yogyakarta dalam Film Indonesia: Banal, Binal, dan ’Ndeso' dengan tepat menggambarkan kegelisahan orang Yogya dalam menanggapi beberapa film yang sangat tidak akurat menggambarkan Yogya.

Misalnya, Grace mengomentari Tiga Hari Untuk Selamanya:

Eksotisme menjadi kata kunci dalam hal ini. Coba lihat beberapa adegan terakhir 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza, 2006), tentang perjalanan Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) menuju rumah nenek mereka di Yogyakarta. Setelah mereka berputar-putar selama tiga hari --seharusnya hanya setengah hari, mungkin untuk mencapai durasi film layar lebar yang umumnya kurang lebih 100 menit-- sampailah mereka di rumah sang nenek yang modern secara arsitektur dan interior. Rumah nenek memang tidak harus rumah joglo dan kuno, tapi sangat klise ketika isinya penuh dengan barang-barang nonfungsional nan eksotis. Tatanan rumah yang dipenuhi dengan perabotan eksotis ini tidak punya relevansi apapun dengan cerita

Kemudian cerita Mengejar Mas-Mas yang bersetting di Yogya. Setiap orang yang bertanya tentang film itu, selalu kukatakan, Mengejar Mas-Mas mungkin bisa terjadi di kota lain di Jawa tetapi yang pasti bukan Yogya. Orang Yogya itu bukan orang bodoh tetapi orang pintar. Tetapi kalau aku harus memilih antara menyarankan MMM atau THUS, aku lebih memilih MMM karena setidaknya lebih bisa dinikmati walaupun sama-sama sok tahunya.

Tulisan-tulisan Grace tentang MMM, kuamini seluruhnya:
Lihat misalnya Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006). Dalam film ini, lokasi-lokasi tersebut tampil sesuai dengan kenyataan, tetapi keliru dalam mewakili kehidupan kota Yogyakarta. Shanaz (Poppy Sovia) tiba di Stasiun Tugu tanpa membawa uang. Bagi saya, ganjil rasanya melihat Parno (Dwi Sasono), pengamen dan penduduk kota asli, membawa Shanaz makan gudeg di Wijilan dan digambari karikaturnya oleh seniman jalanan. Kegiatan ini memerlukan biaya yang mahal apabila diukur dengan standar Yogyakarta. Apalagi mengingat Parno hanyalah seorang pengamen dan, saya ulangi, Shanaz tidak membawa uang sama sekali. Mereka kemudian menghabiskan hari di desa bersawah luas dan berpemandangan indah -- yang bagi saya adalah salah satu bentuk eksotisme.

...........

Mengejar Mas-mas menggambarkan lingkungan pertetanggaan di Yogyakarta, di daerah pelacuran Pasar Kembang, maupun di sekitar rumah tinggal Ningsih alias Norma (Dinna Olivia). Ibu-ibu tetangga Ningsih digambarkan bodoh dengan perlu diberitahu akan keberadaan Menteri Negara Urusan Perempuan. “…ndak boleh percaya 100% sama suami! Jangan takut masalah hak wanita! Lha wong sekarang ini, sudah ada departemennya sendiri loh, untuk urusan wanita… Iya! Ada menterinya juga loh! Eh, menterinya itu wanita, lagi!” demikian penjelasan Ningsih yang mengaku berprofesi dosen kepada sejumlah tetangganya yang manut saja. Demikian cara film ini menggambarkan lingkungan Yogyakarta yang dihuni oleh wong ‘ndeso, padahal daerah tempat Ningsih tinggal adalah sekitar Malioboro, pusat kota.

...............

Lain halnya dengan Cerita Yogya, Mengejar Mas-mas menggambarkan ekspresi kaget, takut, bercampur jijik di muka pemuda berprofesi pengamen di Malioboro itu pada saat Shanaz berkata “… gua udah bosen ngeseks!”. Film ini membangun stereotipe pemuda Yogyakarta. Lihat saja baju lurik dan blangkon yang selalu dikenakan Parno. Apabila Anda bertandang ke Yogyakarta, saya jamin Anda akan kesulitan menemukan pengamen muda di Malioboro mengenakan celana batik, apalagi baju lurik.

Parno juga dikenalkan sebagai pemuda bersepeda, yang memang sesuatu yang akan sering Anda temukan di Yogyakarta, yang terlalu bodoh untuk memperbaiki rem blong yang menyebabkannya jatuh—adegan ini memang lucu saat pertama kali muncul, tetapi untuk yang kedua dan ketiga, terlihat seperti penulis skenarionya, Monty Tiwa, kehabisan cara melucu. Parno dan pola pikir sederhananya juga digambarkan tidak punya harga diri. Sepulang berkencan, ia menemukan pacar Shanaz telah menunggu. Shanaz memperkenalkan Parno sebagai ojek sepeda yang telah membawanya berkeliling kota seharian, sehingga pacarnya kemudian memasukkan sejumlah uang ke dalam kantong Parno sebagai tanda terimakasih. Tanpa perlawanan dan ekspresi, Parno nrimo kemudian pergi.

Dan jujur saja,
saya harus berterima kasih pada Grace. Saya belum sempat menonton film Perempuan Punya Cerita, tetapi melihat tulisan Grace, saya ragu untuk menontonnya. Jangan-jangan, nanti saya akan muntah-muntah seperti waktu melihat film Tiga Hari Untuk Selamanya.

Tak jauh berbeda, adalah Cerita Yogya, karya Upi Avianto dalam omnibus film Perempuan Punya Cerita (2008), produksi Kalyana Shira. Yogyakarta digambarkan Upi melalui Malioboro, Wijilan, Tugu, dan Stadion Kridosono. Yang terakhir ini adalah tempat muda-mudi dalam filmnya menghabiskan waktu luang. Stadion Kridosono hanya akan Anda temukan ramai saat konser musik, bukan pertandingan sepak bola, apalagi tempat nongkrong anak-anak muda.

Cerita Yogya juga menceritakan tentang sebuah warung internet (warnet) yang menyediakan bilik untuk berhubungan seks jangka pendek beserta penjaganya yang selalu terlihat membaca koran merah atau buku stensil. Sekelompok anak-anak pria yang nongkrong di warnet itu, digambarkan mencari film porno di Malioboro. Apabila Anda ke Malioboro, Anda tidak akan menemukan satupun penjual CD/VCD/DVD.

.........................

Tak berbeda dengan lokasi, manusia di dalam film-film ini juga digambarkan dengan steroetipe. Cerita Yogya menggambarkan muda-mudi Yogyakarta sebagai manusia-manusia banal dan binal. Film diawali dengan seorang perempuan berseragam SMU, marah dan setengah berteriak di depan orang banyak, meminta pertanggungjawaban seorang pria, berseragam juga, karena temannya yang adalah pacar pria itu hamil. Si pacar menolak, karena toh perempuan itu ‘digilir’ bersama teman-temannya yang lain.

Kumpulan anak muda ini terasa ganjil—bagi saya—karena beberapa siswa SMU yang saya kenal ternyata masih menemukan kesulitan untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya kepada lawan jenisnya. Beberapa dari anak perempuan SMU di Yogyakarta memang ternyata sudah bertunangan atau dijodohkan orangtuanya, tetapi ketika menghadapi pria yang disukainya, pipi mereka masih memerah karena malu. Walaupun anak-anak perempuan itu juga bermain biliar, pergi ke klub-klub malam, dan (beberapa) merokok (diam-diam), mereka masih saling mendiskusikan balasan SMS untuk teman pria yang sedang disukai atau pacarnya.

Bisa saja kelompok anak muda yang kesehariannya bukan hanya membicarakan dan bercanda tentang hubungan seks, tetapi juga memraktikkannya tanpa perasaan malu dan bersalah, dalam Cerita Yogya itu benar-benar ada di Yogyakarta. Masalahnya film pendek yang ditulis oleh Vivian Idris ini tidak berhasil membuat saya merasa bahwa kumpulan anak muda ini berada dan berasal dari Yogyakarta.

Skenarionya terasa pretensius. Di dalam kamar hotel Jay (Fauzi Baadila), Safina (Kirana Larasati) dengan senyum lugu-tapi-nakalnya mengatakan bahwa ia dan teman-temannya tidak seperti anak-anak Jakarta yang harus check in (ke hotel) untuk berhubungan seks. Adegan berlanjut ke sebuah kamar, yang dari luar terdengar jelas suaranya, dimana sepasang remaja sedang melakukan hubungan seks. Di luar kamar ada beberapa pasang muda-mudi yang berkumpul sambil bermain Play Station, bermesraan, bersenda-gurau, merokok, dan minum minuman keras. Seorang ibu berjilbab, yang adalah ibu pemilik rumah yang mereka tongkrongi, lewat sambil berbasa-basi ramah dengan mereka—lucu bagi saya, karena saya, seorang perempuan dewasa, merokok di lobi pascasarjana sebuah kampus saja hampir selalu menjadi pusat perhatian dan dipandangi dengan seksama, dari sepatu hingga rambut, oleh para perempuan berjilbab yang lalu lalang.


Aih......
Oh iya, menyangkut tulisan Grace yang ini:

Walaupun sejumlah penelitian membuktikan bahwa Yogyakarta adalah kota dengan angka keperawanan pelajar paling rendah, rasanya kebudayaan Jawa yang kental tidak mengizinkan adanya kevulgaran yang sedemikian rupa dalam pergaulan sehari-hari.

Maaf yah, mbak
saya ada di kota Yogya saat heboh penelitian itu.
Dan hanya ada satu penelitian yang membuat hasil seperti itu, yakni yang dibuat Iip Wijanarko . Dan semua orang Yogya meragukan keabsahan penelitian tersebut.

Kutipan dari salah satu komentator di Kaskus:

dia ngambil sampling disepanjang jalan kaliurang dari mulai perempatan mirota kampus UGM sampe ke daerah Besi deket kampus UII Terpadu, dan dia mengasumsikan bahwa itu adalah JOGJA SECARA KESELURUHAN tanpa melihat wilayah dan daerah lain di jogja...

emank dia pikir jogja kotanya satu jalan habis apa??? emank gombong!!!

jalan kaliurang itu sebagian besar masuk ke kabupaten sleman, bukan kotamadya yogyakarta lagi... wilayah jalan kaliurang yang masuk jogja cmn dari perempatan mirota kampus sampe ke depan perpustakaan UPT unit I UGM... yang kira-kira kl diukur panjangnya cmn 200-300 meter.. sedangkan sisanya ( around 16 kilometres ) sampe ke utara sono noh... di pucuk gunung merapi... masuk ke kabupaten sleman.... dari sini aja udah gk jelas parameter wilayah samplingnya dia.... mo meneliti jogja, sleman, apa propinsi DIY???

wkt diundang ke fisipol, di clashkan ma dosen2 kuantitatif dia melintir... gk bisa jawab... ditanya A jawabnya B...

mana bawa beckingan laghe dari IAIN.....

ibaratnya kl dia maju ujian skripsi, dia udah dinyatakan gatot ambyar...

gk lulus....!!!!

Jadi,
please,
jangan sekali-kali kutip penelitian dia.

Anyway,
gue berharap suatu hari, bila ada pembuat film dari Jakarta membuat cerita dengan setting di Yogya, gue berharap bisa menemukan Yogya yang gue kenal, yang cerdas, yang nyeleneh.


Referensi:
http://www.rumahfilm.org/artikel/artikel_yogya.htm
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=576099&page=3


1 comments:

Anonymous said...

Setuju, kayaknya ngga kayak jogja, malah beberapa bagian mirip kayak jakarta yang dipindah ke jogja..

Mungkin mereka ke jogja sebagai wisatawan, jadi ngga dapet sense sebagai orang jogja.. [sotoy] :D


*salam kenal...