Pertanyaan-Pertanyaan Tak Terjawab pada 777 lalu
Waktu yang disediakan untuk dialog Menkominfo dan Blogger kemarin terlalu singkat (dan memang sepanjang apapun, dialog seperti itu tidak akan pernah cukup). Maka berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak sempat saya tanyakan karena keterbatasan waktu. 'demi kepentingan umum' Edmon Makarim, staf ahli hukum Depkominfo, setelah selesai acara menyatakan bahwa bukanlah pencemaran nama baik bila hal tersebut dilakukan untuk kepentingan umum (sudah dicek, memang tercantum dalam KUHP). Sejauh mana kah sebuah kasus bisa disebut 'demi kepentingan umum'? Apakah menceritakan di milis, blog, forum, tindakan pemerasan atau segala jenis kezaliman yang terjadi baik pada diri sendiri maupun orang lain yang ia kenal bisa disebut 'demi kepentingan umum'? frasa 'tanpa hak' Frasa ini muncul dalam banyak pasal di UU ITE yang baru. Pertanyaan saya adalah, siapakah yang memiliki hak untuk menyebarkan informasi yang mungkin memiliki muatan penghinaan/atau pencemaran nama baik? Seandainya saya mendapat tembusan (forward) e-mail dari kawan yang saya percayai dan saya yakini kebenaran beritanya, apakah saya berhak untuk meneruskannya di milis lain atau di blog atau di forum? Apabila saya mendapat kabar mengenai seorang kawan yang terlibat sengketa perkara perdata, apakah saya berhak meneruskan berita tersebut (yang mungkin berat sebelah) di milis, blog, atau forum? frasa 'dengan sengaja' Seperti halnya frasa 'tanpa hak', frasa ini juga muncul dalam banyak pasal di UU ITE yang baru. Saya pikir, semua orang yang menulis pasti memiliki 'niat'. Jadi apakah yang dimaksud dengan frasa 'dengan sengaja'? Apabila saya mendapatkan sebuah kabar yang meresahkan dan saat itu saya percaya dengan kebenaran berita tersebut lalu meneruskannya di blog, milis, atau forum dan ternyata di kemudian terbukti bahwa kabar belaka hanyalah bualan belaka apakah saya bisa berkelit dengan frasa 'tidak sengaja'? 'penyertaan' Salah satu celah menambah jumlah tersangka dalam kasus pidana adalah tuduhan 'penyertaan'. Bila saya menulis sebuah ajakan untuk menentang pembajakan sebuah film namun pada tulisan saya terdapat tautan-tautan (links) menuju tempat mengunduh (download) film tersebut yang sebenarnya saya maksudkan untuk mempermudah pemilik film atau pihak yang berwenang mengusut namun kemudian ternyata di kemudian hari saya dituduh sebagai turut menyebarkan barang bajakan, apakah saya bersalah atas tuduhan 'penyertaan'? Bila saya turut memberitakan baik lewat milis, situs, atau forum, sebuah perseteruan yang kemudian ternyata berlanjut hingga pengaduan pencemaran nama baik, apakah segala tautan (link) dan tulisan saya bisa dianggap sebagai 'penyertaan'? 'lelucon' Ketika Senin Malam lalu saya menyebutkan kasus yang pernah dialami Herman Saksono, Pak Edmon menyebutkan bahwa lelucon tidak dianggap sebagai penghinaan dan kesalahan Saksono adalah memanipulasi informasi (pengolahan gambar) tetapi saat itu ia ditangkap karena tuduhan 'penghinaan pada kepala negara'. |
http://jurnalis.wordpress.com/2005/12/25/akibat-foto-montase-presiden/
Maka, saya kembali bertanya, apakah membuat posting dengan tujuan menyindir, mengungkapkan ekspresi kekesalan dengan membuat lelucon dapat dikenakan tuduhan penghinaan? Adakah landasan hukum untuk melindungi pembuat lelucon? Selain itu, apakah mengubah sebuah ciptaan yang sudah sangat dikenal (misal: foto orang terkenal seperti Roy Suryo yang banyak terdapat di media online) harus selalu meminta izin pencipta (Pasal 24 UU Hak Cipta No. 19 tahun 2002?)? 'Pemblokiran' Saya menebak landasan hukum pemblokiran adalah Pasal 40 ayat 2 UU ITE, "Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan". Namun sudah adakah peraturan yang membahas lebih detail mengenai kewajiban ini? Karena, jujur saja, seperti yang dikeluhkan para blogger dan diberitakan di beberapa media, pemblokiran situs-situs kemarin merugikan banyak pihak, menghalangi akses informasi, membuat beberapa kegiatan positif gagal dijalankan. Saya pribadi tidak menyukai ide bahwa hanya dengan sebuah surat dari menteri, tiba-tiba terjadi pemblokiran. Sudah adakah peraturan yang mengatur mekanisme checks and balances agar kekuasaan ini tidak digunakan sewenang-wenang? Seperti yang ditanyakan Eko Juniarto kemarin, siapakah yang berhak menentukan apakah konten tersebut positif atau negatif? Kemudian kami bisa yakin bahwa konten tersebut negatif bila kami tidak diperbolehkan mengaksesnya? Saya pribadi lebih suka saya diperbolehkan untuk mengakses kontent negatif (misalnya, Film Fitna) tersebut walaupun untuk kemewahan itu saya membayar dengan privasi saya misalnya dengan mendapat peringatan bahwa IP address saya dicatat, nama dan segala identitas saya dicatat, dan untuk ke depannya saya harus bersedia menanggung resiko bila konten tersebut tersebar maka saya dapat dituduh sebagai penyebar bila dapat dibuktikan. Mungkinkah ada mekanisme seperti itu? Untuk wartawan, misalnya? Ini sekedar saran jalan tengah yang saya pribadi lebih menyukai jalan ini daripada harus bermain petak umpet dengan proxy-proxy terbuka atau menggunakan cara-cara tertentu untuk mem-bypass blokir. 'usulan berupa blog' Saya pikir, usul dari Priyadi Iman Nurcahyo mengenai penggunaan media blog. Tujuan penggunaan ini bukan sekedar hanya mengumumkan RUU (dan rancangan PP dan segala kebijakan lainnya) melainkan juga proses di belakangnya. Penggunaan media blog ini, bila dilakukan dengan tepat, bisa menambah jumlah (istilah Pak Cahyana) anggota "fraksi balkon". Mohon dukungan dari kawan-kawan (forumers [apapun itu.. kaskus, AK, rileks, kopimaya, myquran], milisers, dan bloggers) untuk mendukung usul dari Priyadi. Semoga ada wakil dari Depkominfo yang bersedia (baik lewat saya pribadi atau lewat pernyataaan terbuka atau lewat dialog entah di mana) menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Oh ya.. Sumber lain: |
0 comments:
Post a Comment