Jamila dan Sang Presiden: Ternyata Teater dan Film Berbeda
Dahulu aku sering mendengar bahwa mengadaptasi naskah yang digunakan untuk teater ke medium layar lebar tidaklah gampang. Namun selama ini, aku selalu bisa menikmati adaptasi-adaptasi tersebut, dari Hamlet yang diperankan Mel Gibson, Romeo + Juliet yang dibuat Baz Luhrman, Macbeth-nya Roman Polanski, bahkan Phantom of The Opera-nya Joel Schumacher yang jelas-jelas diadaptasi dari versi opera Andrew Lloyd Weber. Jadi ketika saya mendengar bahwa Jamila dan Presiden adalah adaptasi dari teater, saya menyangka, setidaknya bila unsur teaternya masih terasa, saya akan seperti melihat Puisi Tak Terkuburkan-nya Garin Nugroho.
Saya salah!
Mbak Ratna Sarumpaet berhasil membuktikan pada saya bahwa teater dan layar lebar adalah dua medium berbeda dan adaptasi dari satu medium ke medium lain membutuhkan usaha yang tak ringan. Film ini adalah adaptasi yang gagal. Padahal pendukung film ini tak main-main, dari Christine Hakim, Jajang C. Noer, Ria Irawan, bahkan dua dari tiga aktor muda favorit saya yakni Surya Saputra dan Dwi Sasono.
Yang terasa pertama kali adalah wajah Menteri Nurdin yang diperankan oleh Adjie Pangestu. Walau hanya muncul sekilas di layar TV, Adjie tampak terlalu muda sebagai menteri. Sebenarnya aneh, karena kita dahulu punya menteri-menteri muda seperti Khofifah Indar Parawansa atau Nur Mahmudi Ismail, tetapi Adjie Pangestu walau hanya memerankan mayat di awal film, tidak terasa seperti sosok pejabat. Bahkan di bagian akhir, ketika akhirnya terungkap peristiwa pembunuhannya, Adjie lebih tampak seperti bos muda yang belum matang dibandingkan seorang menteri. Tak bisakah diakali, dengan menyuruh Adjie merawat jenggot sebelum syuting filmnya dimulai misalnya?
Di panggung, masalah usia ini tak terlalu bermasalah, apalagi bila penonton jauh dari panggung tetapi di layar, dengan kamera yang begitu akrab hingga penonton bisa sampai melihat jerawat para pemain, hal-hal kecil seperti ini menjadi sangat mengganggu.
Kemudian kita diperkenalkan dengan sosok Ibrahim (Dwi Sasono) dengan kemunculan pertamanya di sebuah diskotik sebagai seseorang yang jatuh hati pada Jamila. Jujur saja, yang paling terasa pertama kali adalah diskotiknya terlalu sepi tetapi hal itu tidak terlalu seberapa bila dibandingkan dialog antara Ibrahim dan Jamila yang juga diselipi monolog. Tampaknya Ratna juga menyadari bahwa dialog antara mereka juga kurang, terbukti di adegan selanjutnya, ketika Jamila menyerahkan diri ke kantor polisi dan ucapan Ibrahim terngiang-ngiang secara voice-over, mereka merekam ulang suara Dwi Sasono, alih-alih menggunakan hasil sebelumnya.
Saya masih merasa ada yang janggal dengan cara berbicara Atiqah Hasiholan. Ketika sosok Jamila kecil muncul, saya menyadari ada yang hilang, yakni logat tokoh Jamila. Jamila kecil memiliki sedikit aksen Sunda walau berbahasa Indonesia namun Jamila dewasa sama sekali tak beraksen. Namun perasaan tidak nyaman ini hanya muncul pada setengah jam awal film dan setelahnya, menghilang.
Kejanggalan juga terasa ketika kita dihadapi pada kilas balik pembunuhan terhadap ayah dan anak yang dilakukan oleh Jamila remaja. Jajang C. Noer mampu menunjukkan mood dengan tepat sebagai nyonya rumah yang lumpuh termasuk ketika menjumpai suaminya tewas terbunuh namun reaksi si pembantu bukannya membuatku ikut merasakan seram namun malah membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
Sekali lagi, saya bisa membayangkan bentuk panggung dari adegan ini, di mana saya membayangkan karakter si pembantu ketakutan melihat mayat pemuda, anak tunggal keluarga di sebelah kanan kemudian lari ke arah kiri menjumpai si nyonya yang hanya diam dan dengan mayat kepala keluarga di belakangnya yang membuatnya semakin panik dan lari keluar panggung. Sayangnya, hal tersebut gagal diterapkan di medium layar lebar, medium di mana saya bisa melihat dengan jelas jerawat-jerawat pemain Lord of The Ring: The Twin Towers dan bulu-bulu tangan Kirsten Dunst di Spiderman 2 apalagi sekedar wajah pemain yang gagal mengekspresikan ketakutannya. Mungkin seharusnya tidak ada close-up ke wajah pemeran pembantu.
Akan lebih mengganggu lagi, ketika duet pemain yang seharusnya punya potensi, gagal hanya karena ketidakjelian skenario. Debat-debat antara Bu Ria (Christine Hakim) dan Surya (Surya Saputra) seharusnya bisa menarik apalagi kualitas Christine Hakim dan Surya Saputra sudah sering teruji namun satu kecerobohan skenario membuat rusak semuanya yakni penggunaan sapaan.
Karakter Bu Ria tampak lebih tua apalagi ia pemimpin sipir. Sungguh aneh rasanya, sosok sipir muda seperti Surya memanggil Bu Ria sebagai 'anda'. Lebih parah lagi, dalam beberapa bagian, Surya bahkan menggunakan kata 'kamu' dalam menunjuk atasannya. Saya yang baru datang dari Amerika Serikat saja sudah merasa janggal, apakah tidak ada yang menyadari dari sekian banyak orang yang terlibat dari pembuatan adegan ini?
Skenario juga terlihat lemah ketika Bu Ria mendatangi Jamila karena ia berteriak-teriak akibat mimpi buruk.
Saya salah!
Mbak Ratna Sarumpaet berhasil membuktikan pada saya bahwa teater dan layar lebar adalah dua medium berbeda dan adaptasi dari satu medium ke medium lain membutuhkan usaha yang tak ringan. Film ini adalah adaptasi yang gagal. Padahal pendukung film ini tak main-main, dari Christine Hakim, Jajang C. Noer, Ria Irawan, bahkan dua dari tiga aktor muda favorit saya yakni Surya Saputra dan Dwi Sasono.
Yang terasa pertama kali adalah wajah Menteri Nurdin yang diperankan oleh Adjie Pangestu. Walau hanya muncul sekilas di layar TV, Adjie tampak terlalu muda sebagai menteri. Sebenarnya aneh, karena kita dahulu punya menteri-menteri muda seperti Khofifah Indar Parawansa atau Nur Mahmudi Ismail, tetapi Adjie Pangestu walau hanya memerankan mayat di awal film, tidak terasa seperti sosok pejabat. Bahkan di bagian akhir, ketika akhirnya terungkap peristiwa pembunuhannya, Adjie lebih tampak seperti bos muda yang belum matang dibandingkan seorang menteri. Tak bisakah diakali, dengan menyuruh Adjie merawat jenggot sebelum syuting filmnya dimulai misalnya?
Di panggung, masalah usia ini tak terlalu bermasalah, apalagi bila penonton jauh dari panggung tetapi di layar, dengan kamera yang begitu akrab hingga penonton bisa sampai melihat jerawat para pemain, hal-hal kecil seperti ini menjadi sangat mengganggu.
Kemudian kita diperkenalkan dengan sosok Ibrahim (Dwi Sasono) dengan kemunculan pertamanya di sebuah diskotik sebagai seseorang yang jatuh hati pada Jamila. Jujur saja, yang paling terasa pertama kali adalah diskotiknya terlalu sepi tetapi hal itu tidak terlalu seberapa bila dibandingkan dialog antara Ibrahim dan Jamila yang juga diselipi monolog. Tampaknya Ratna juga menyadari bahwa dialog antara mereka juga kurang, terbukti di adegan selanjutnya, ketika Jamila menyerahkan diri ke kantor polisi dan ucapan Ibrahim terngiang-ngiang secara voice-over, mereka merekam ulang suara Dwi Sasono, alih-alih menggunakan hasil sebelumnya.
Saya masih merasa ada yang janggal dengan cara berbicara Atiqah Hasiholan. Ketika sosok Jamila kecil muncul, saya menyadari ada yang hilang, yakni logat tokoh Jamila. Jamila kecil memiliki sedikit aksen Sunda walau berbahasa Indonesia namun Jamila dewasa sama sekali tak beraksen. Namun perasaan tidak nyaman ini hanya muncul pada setengah jam awal film dan setelahnya, menghilang.
Kejanggalan juga terasa ketika kita dihadapi pada kilas balik pembunuhan terhadap ayah dan anak yang dilakukan oleh Jamila remaja. Jajang C. Noer mampu menunjukkan mood dengan tepat sebagai nyonya rumah yang lumpuh termasuk ketika menjumpai suaminya tewas terbunuh namun reaksi si pembantu bukannya membuatku ikut merasakan seram namun malah membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.
Sekali lagi, saya bisa membayangkan bentuk panggung dari adegan ini, di mana saya membayangkan karakter si pembantu ketakutan melihat mayat pemuda, anak tunggal keluarga di sebelah kanan kemudian lari ke arah kiri menjumpai si nyonya yang hanya diam dan dengan mayat kepala keluarga di belakangnya yang membuatnya semakin panik dan lari keluar panggung. Sayangnya, hal tersebut gagal diterapkan di medium layar lebar, medium di mana saya bisa melihat dengan jelas jerawat-jerawat pemain Lord of The Ring: The Twin Towers dan bulu-bulu tangan Kirsten Dunst di Spiderman 2 apalagi sekedar wajah pemain yang gagal mengekspresikan ketakutannya. Mungkin seharusnya tidak ada close-up ke wajah pemeran pembantu.
Akan lebih mengganggu lagi, ketika duet pemain yang seharusnya punya potensi, gagal hanya karena ketidakjelian skenario. Debat-debat antara Bu Ria (Christine Hakim) dan Surya (Surya Saputra) seharusnya bisa menarik apalagi kualitas Christine Hakim dan Surya Saputra sudah sering teruji namun satu kecerobohan skenario membuat rusak semuanya yakni penggunaan sapaan.
Karakter Bu Ria tampak lebih tua apalagi ia pemimpin sipir. Sungguh aneh rasanya, sosok sipir muda seperti Surya memanggil Bu Ria sebagai 'anda'. Lebih parah lagi, dalam beberapa bagian, Surya bahkan menggunakan kata 'kamu' dalam menunjuk atasannya. Saya yang baru datang dari Amerika Serikat saja sudah merasa janggal, apakah tidak ada yang menyadari dari sekian banyak orang yang terlibat dari pembuatan adegan ini?
Skenario juga terlihat lemah ketika Bu Ria mendatangi Jamila karena ia berteriak-teriak akibat mimpi buruk.
BU RIA:
Membunuh menteri saja kau berani, baru mimpi buruk sudah berteriak-teriak
JAMILA:
Itu adalah pengalaman terburuk yang pernah saya alami.
Membunuh menteri saja kau berani, baru mimpi buruk sudah berteriak-teriak
JAMILA:
Itu adalah pengalaman terburuk yang pernah saya alami.
Penonton mungkin paham apa yang dimaksud dengan "itu" karena di adegan sebelumnya diperlihatkan kilas balik tetapi kepala sipir Bu Ria tak mungkin tahu. Namun, reaksi selanjutnya, seakan-akan Bu Ria sudah tahu atau sudah berhasil membaca isi pikiran Jamila.
Yang kemudian tampak dipaksakan adalah demonstrasi-demonstrasi yang dipimpin oleh Fauzi Badilla. Dari sisi pakaian saja, sungguh, lebih seperti melihat demonstrasi aktivis-aktivis kiri daripada kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama yang saya peluk. Kehadirannya dalam cerita pun juga tak kuat.
Dari sekian banyak razia PSK yang dilakukan oleh satpol PP, pernahkah kita mendengar kelompok-kelompok agama tersebut berdemonstrasi di depan panti rehabilitasi sosial? Dari sekian banyak pembunuhan yang terjadi pada pejabat publik, pernahkah kita mendengar kelompok-kelompok agama tersebut berdemonstrasi menuntut pembunuh pejabat publik tersebut dihukum mati?
Benar kelompok-kelompok agama tersebut pernah berdemonstrasi menentang sebuah majalah. Benar pula, kelompok-kelompok tersebut pernah mengawali sidang terhadap model foto seni. Tetapi diterapkan pada kisah Jamila, rasanya sungguh janggal. Apalagi tak ada tanda-tanda bahwa menteri yang tewas tersebut berasal dari kalangan tertentu (bahkan tampaknya dari kalangan sekuler).
Ada bagian yang menggambarkan bahwa demonstrasi tersebut adalah bayaran, tetapi siapa yang berkepentingan untuk membayar? Awalnya kukira karena menteri yang tewas adalah bagian dari persekongkolan jahat namun di akhir ketika motivasi Jamila terungkap, dugaan saya salah dan justru malah membuat kehadiran demonstrasi-demonstrasi tersebut menjadi aneh.
Mendekati akhir, Jamila menerima tamu tak dikenal di dalam penjara yang berbicara tentang keresahan mengenai agama yang dipolitisir tetapi sungguh, kehadiran tamu tersebut justru malah menambah kejanggalan. Lebih masuk akal bila yang berkata seperti itu adalah para narapidana lain.
Akhirnya, penggambaran-penggambaran demonstrasi tersebut tak lebih dari sekedar propaganda Ratna Sarumpaet dan saya harus mengatakan bahwa propaganda tersebut gagal!
Kehadiran tokoh kyai di akhir cerita mempertegas unsur propaganda tersebut. Reaksi-reaksi kyai tersebut jelas berlebihan dan mirip lelucon.
Ketika El-Manik sebagai Pak Haji merayu istrinya, Salma (Jajang C. Noer) dalam Berbagi Suami-nya Nia Dinata, tokoh agama ini menggunakan dalil yang seringkali diulang-ulang, yakni "daripada zina". Namun akting El-Manik dan kecermatan Nia membuat kita percaya bahwa sosok Pak Haji adalah sungguh meyakini apa yang ia ucapkan sehingga penonton pun merasa gemas terhadap karakter Pak Haji.
Hal yang sama tidak terjadi pada tokoh Kyai di penghujung cerita. Reaksi-reaksi spontan astaghfirullah dan subhanallah yang diucapkan berkali-kali terasa dibuat-buat dan menjadi lelucon. Hasilnya, bukannya penonton merasakan amarah dan depresi yang dirasakan oleh Jamila, kami justru tertawa.
Hal lain yang juga membuat tidak nyaman adalah fakta Jamila langsung ditaruh di Lembaga Pemasyarakatan segera setelah menyerahkan dirinya ke polisi bukannya ditaruh di Rumah Tahanan. Belum lagi aku tak habis pikir darimana Jamila mendapat botol-botol air mineral di dalam sel dan dari mana ia mendapatkan lem untuk menempelkan kliping-kliping korannya di dinding.
Ketika Susi (Ria Irawan) akhirnya bercerita tentang apa yang terjadi di malam itu kepada Ibrahim, akhirnya penonton mengerti mengapa Jamila memilih mati dan menolak pengacara. Keberadaan demonstrasi-demonstrasi, kejanggalan pengadilan yang terlalu cepat menyesatkan penonton yang doyan menebak akhir cerita tetapi tidak bisa memahami mengapa Jamila memilih mati. Ketika alasan sesungguhnya terungkap, faktor-faktor penyesat tersebut justru terasa tidak pada tempatnya. Akhirnya, bukannya sukses menyampaikan pesan untuk mencegah perdagangan wanita dan pelacuran anak kecil, Jamila dan Presiden malah menjadi film detektif yang justru membuat lebih banyak pertanyaan ketika credit-title mulai merayap.
Jujur saja, saya jadi membayangkan seorang Ram Punjabi tertarik dengan cerita ini untuk menunjukkan pada penonton Indonesia bahwa seorang Ram Punjabi tidak hanya membuat sinetron dan film sampah tetapi bisa membuat film berkualitas. Namun sayang, niat baik itu tidak disertai dengan usaha sungguh-sungguh untuk melakukan pengadaptasian dari medium yang sungguh jauh berbeda. Walau kamera yang digunakan sudah bagus (akhirnya.. kekecewaan pada film Drop Out terobati di sini) dan menghasilkan gambar yang cukup indah, tetapi shot-shot yang dihasilkan seperti shot-shot setengah hati.
Saya yakin kalau bagian-bagian akting dan dialog yang bagus diambil berkali-kali, atau setidaknya ada rehearsal sebelum kamera menyala, pasti adegan-adegan yang mengganggu yang saya sebutkan di atas menjadi wajar. Saya yakin kalau naskah diperiksa, dibedah berkali-kali, pasti menjadi lebih bagus.
Mungkin harapan saya terlalu berlebihan sebelum melihat film ini. Mungkin pula, saya masih terlalu terkesan pada akting Cut Mini Theo dan kawan-kawan dalam film Laskar Pelangi yang saya tonton VCD originalnya pada pagi hari di hari yang sama.
0 comments:
Post a Comment