Thursday, June 11, 2009

Yurisprudensi: Alternatif untuk Mencegah Terulangnya Kasus Prita?

(sesuai yang ditulis di mailing list keadilan-untuk-prita di googlegroups.com )


Definisi dari KBBI:
yu·ris·pru·den·si /yurisprudénsi/ n Huk 1 ajaran hukum melalui peradilan; 2 himpunan putusan hakim;
-- medis penerapan pengetahuan medis thd undang-undang yg menyangkut kehidupan dan penilaian, termasuk memberikan kesaksian thd perbuatan menyimpang dl praktik kedokteran

Semalam saya, Mas Enda, Pak Leo Batubara berdiskusi (bahkan cenderung berdebat) dengan wakil dari Depkominfo, Pak Muzakkir, dan Pak Arif dari Kejaksaan Agung (koreksi bila aku salah) mengenai pasal pidana dalam hal pencemaran nama baik. Sejumlah argumen diperdebatkan namun karena keterbatasan waktu, jujur saja masih menyimpan rasa tidak puas di dalam hati.

Namun tulisan ini bukan tentang pasal pidana. Tulisan ini tentang yurisprudensi yang kebetulan dimunculkan oleh Pak Muzakkir dan diakui oleh Pak Arif. Jadi tulisan ini adalah apa yang saya tangkap (dari orang awam berlatar belakang non-sarjana hukum) dari ucapan mereka tentang yurisprudensi.


Pak Arif dari Kejaksaan Agung yang juga merupakan salah satu yang melakukan eksaminasi terhadap jaksa yang menahan Prita mengungkapkan, ada dua pendapat dari ahli hukum mengenai batas antara hak konsumen dan pencemaran nama baik.

Pendapat pertama mengungkapkan bahwa konsumen itu memiliki hak untuk mengeluh selama ia menggunakan jalur yang disediakan dan jalur hukum. Bila kemudian konsumen bercerita pada orang lain, maka tindakannya jatuh pada pencemaran nama baik. Pendapat ini, kebetulan digunakan oleh jaksa yang sekarang menangani kasus Prita. (Mungkin jaksa-jaksa dan hakim-hakim yang menangani Kho Seng Seng, Winny, dan Fifi Tanang juga berpikiran serupa).

Pendapat kedua mengatakan bahwa konsumen itu punya hak untuk mengeluh di media manapun dan apapun selama apa yang ia ceritakan dialami sendiri dan tidak dibuat-buat.


Indonesia secara formal tidak mengenal yurisprudensi namun pada prakteknya, hakim juga melihat kasus-kasus lain. Dengan kata lain, Indonesia mengenal yurisprudensi walaupun tidak berkekuatan tetap.

Maka, menurut Pak Muzakkir, ada tiga skenario yang terjadi bila akhirnya Bu Prita dibebaskan oleh pengadilan.

Skenario pertama adalah bila Bu Prita bebas karena dinyatakan kurang bukti. Maka keputusan bebasnya Bu Prita tidak akan menjadi yurisprudensi dan tidak akan mempengaruhi keputusan-keputusan di pengadilan lain. Bahasa sederhananya, keputusan Bu Prita bebas tidak menjamin tidak akan terulangnya kasus yang sama di masa depan.

Skenario kedua adalah bila Bu Prita dibebaskan hakim karena tekanan dari masyarakat, karena rasa takut hakim. Bila Bu Prita dibebaskan seperti ini, maka keputusan bebasnya Bu Prita juga tidak akan menjadi yurisprudensi dan tidak ada jaminan tidak akan terulang kasus yang sama di masa depan.

Skenario ketiga adalah bila tindakan Bu Prita telah berhasil dibuktikan namun hakim membebaskan dengan memberikan pertimbangan bahwa apa yang dilakukan Bu Prita tidak bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, bahwa kata-kata kasar, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Bu Prita terjadi karena penderitaan Bu Prita yang sangat dahsyat. Bila Bu Prita bebas dengan kondisi seperti ini, maka pertimbangan dan keputusan hakim yang dilakukan kepada Bu Prita akan menjadi tolok ukur untuk pengadilan-pengadilan lain.


Saya sempat bertanya setelah acara usai, apakah yurisprudensi ini terjadi hanya bila telah diputuskan oleh Mahkamah Agung atau juga terjadi bila keputusan ada di tingkat pengadilan negeri. Menurut Pak Muzakkir, yurisprudensi itu terjadi untuk semua tingkat pengadilan. Akan tetapi, masing-masing memiliki kekuatannya sendiri dan yang paling ampuh adalah bila kasus Bu Prita sampai ke tingkat Mahkamah Agung dan dibebaskan di Mahkamah Agung. Mengapa? Karena setelah itu, MA juga membuat aturan-aturannya dan memberi selebaran kepada pengadilan-pengadilan di seluruh negeri sehingga kasus yang sama tidak akan diadili lagi. Selain itu, bisa juga terjadi peninjauan kembali pada kasus-kasus yang ada bila ada penetapan kasus seperti ini. (Koreksi bila aku salah).


Sekarang saya kembali bertanya, mengulang pertanyaan yang sama:
Apakah kalian hanya membenci RS OMNI atau kalian membenci kezaliman terhadap Bu Prita?

Bila kita sepakat membenci kezaliman terhadap Bu Prita maka seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya:

Kita tidak boleh puas kemarin karena Bu Prita akhirnya tidak ditahan melainkan hanya tahanan kota.
Kita tidak boleh puas bila DPR mengatakan RS Omni harus ditutup.
Kita tidak akan puas bila kelak Hakim karena takut dan ditekan oleh para capres dan DPR memenangkan Bu Prita.

Justru kita harus cemas karena itu adalah bentuk intervensi terhadap lembaga hukum yang bisa melahirkan kediktatoran.

Yang kita inginkan, Bu Prita bebas dari semua tuntutan,
hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang mengedepankan nurani,
dan peraturan yang tidak akan bisa disalahgunakan untuk membungkam hak-hak warga negara.



Salam,
Kunderemp Ratnawati Hardjito a.k.a
Narpati Wisjnu Ari Pradana

3 comments:

edratna said...

Masalah hukum memang rumit, dan bisa dilihat dari semua sisi, diuji, diperdebatkan. Dan ini kadang yang membuat lelah orang awam.
Di satu sisi, kasus ini membuka lebar mata kita, yang selama ini kurang begitu memperhatikan masalah2 yang kemungkinan bisa bersinggungan dengan hukum

Blog Watcher said...

MATINYA KEBEBASAN BERPENDAPAT

Biarkanlah ada tawa, kegirangan, berbagi duka, tangis, kecemasan dan kesenangan... sebab dari titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menghirup udara dan menemukan jati dirinya...

itulah kata-kata indah buat RS OMNI Internasional Alam Sutera sebelum menjerat Prita dengan pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.

.......................................................................................................

Bila kita berkaca lagi kebelakang, sebenarnya pasal 310 KUHP adalah pasal warisan kolonial Belanda. Dengan membungkam seluruh seguruh teriakan, sang rezim penguasa menghajar kalangan yang menyatakan pendapat. Dengan kejam penguasa kolonial merampok kebebasan. tuduhan sengaja menyerang kehormatan, nama baik, kredibilitas menjadi ancaman, sehingga menimbulkan ketakutan kebebasan berpendapat.

Menjaga nama baik ,reputasi, integritas merupakan suatu keharusan, tapi alangkah lebih bijaksana bila pihak-pihak yang merasa terganggu lebih memperhatikan hak-hak orang lain dalam menyatakan pendapat.

Dalam kasus Prita Mulyasari, Rumah sakit Omni Internasional berperan sebagai pelayan kepentingan umum. Ketika pasien datang mengeluhjan pelayanan buruk pihak rumah sakit, tidak selayaknya segala kritikan yang ada dibungkam dan dibawah keranah hukum.


Kasus Prita Mulyasari adalah presiden buruk dalam pembunuhan kebebasan menyatakan pendapat.

sawali tuhusetya said...

kasus bu prita memang menarik, mas. tadi saya mengikuti diskusi yang digelar jlc (jakarta lawyer club) yang dipandu karni ilyas. saya yang sangat awam dalam bidang hukum, sungguh menikmati acara ini. kalau memang kasus bu prita ini bisa sampai ke MA dan ada upaya utk melakukan yurisprudensi bisa jadi kasus2 serupa bisa terantisipasi dg baik, sehingga tak akan muncul bu prita2 yang lain. ada juga yang mempersoalkan bahwa UU ITE sesungguhnya belum bisa diterapkan karena PP-nya aja belum disahkan. duh, saya makin ndak ngeh, nih, mas.