Friday, February 22, 2019

Pemerkosaan dalam Sejarah Hukum Islam


Indonesia sedang darurat krisis seksual. Kita seringkali menjumpai berita-berita pemerkosaan. Reaksi masyarakat Indonesia menghadapi berita tersebut biasanya mengecam. Terkadang muncul wacana hukuman yang kejam terhadap pelaku pemerkosaan. Namun sayangnya, yang menghambat penanganan kekerasan seksual adalah bagaimana sistem hukum di Indonesia tidak bersimpati pada korban.

Acapkali, ketika korban mau melaporkan pemerkosaan, orang-orang sekitar justru menyalahkan korban seperti mengapa korban sendirian, atau mengapa korban berpakaian dengan "tidak pantas", atau mengapa korban lama baru melapor, atau mengapa korban menemui pelaku berkali-kali. Pada akhirnya, bukannya kasus pemerkosaan itu ditangani dengan cepat, penegak hukum justru menganggap kejadiannya sebagai "suka-sama-suka".

Tentu saja penilaian "suka-sama-suka" ini akan menurunkan derajat korban pemerkosaan menjadi pelaku zina. Korban akan tertekan dan tidak jarang dalam beberapa kasus menghabisi dirinya sendiri seperti yang terjadi di Bogor pada bulan Juli 2018 (pemerkosaannya sendiri terjadi pada akhir Juni).

Alhasil, percuma saja kita mewacanakan hukuman-hukuman yang berat bagi pemerkosa jika laporan pemerkosaan tidak ditangani dengan baik dan penegak hukum tidak bersimpati pada masyarakat.  Mengingat Indonesia sebagian besar beragama Islam, maka kita lihat kembali bagaimana generasi-generasi awal menghadapi kasus pemerkosaan.


MASA RASULULLAH
Kasus pemerkosaan terjadi di masa Rasulullah dan diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzy.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا الْفِّرْيَابِيُّ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ امْرَأَةً خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُرِيدُ الصَّلَاةَ فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ فَتَجَلَّلَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا فَصَاحَتْ وَانْطَلَقَ فَمَرَّ عَلَيْهَا رَجُلٌ فَقَالَتْ إِنَّ ذَاكَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا وَمَرَّتْ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ فَقَالَتْ إِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا فَانْطَلَقُوا فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَّتْ أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا فَأَتَوْهَا بِهِ فَقَالَتْ نَعَمْ هُوَ هَذَا فَأَتَوْا بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا فَقَالَ لَهَا اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكِ وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلًا حَسَنًا قَالَ أَبُو دَاوُد يَعْنِي الرَّجُلَ الْمَأْخُوذَ وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا ارْجُمُوهُ  
فَقَالَ لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَقُبِلَ مِنْهُمْ قَالَ أَبُو دَاوُد رَوَاهُ أَسْبَاطُ بْنُ نَصْرٍ أَيْضًا عَنْ سِمَاكٍ

Pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ada seorang wanita keluar rumah untuk melaksanakan shalat berjamaah. Lalu, ia bertemu dengan seorang laki-laki yang kemudian memaksanya untuk melakukan hubungan intim, laki-laki itu akhirnya memerkosanya sementara ia hanya bisa berteriak. Setelah puas laki-laki itu kabur melarikan diri. 
Kemudian lewatlah seorang laki-laki di hadapannya, wanita itu berkata, "Orang itu telah memperlakukan aku begini dan begini (memperkosa)! Pada saat yang bersamaan lewat juga sekelompok orang dari Muhajirin, wanita itu berkata, "laki-laki itu telah melakukan begini dan begini kepadaku (memperkosa)." Rombongan itu lalu mengejar laki-laki yang disangka oleh wanita itu telah memperkosanya. Mereka kemudian membawanya ke hadapan wanita itu, wanita berkata, "Benar, laki-laki inilah yang telah memperkosaku!" 
Mereka kemudian membawa laki-laki malang itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka ketika beliau memerintahkan untuk menghukum (rajam) laki-laki tersebut, laki-laki yang memperkosa wanita itu berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, akulah yang telah memperkosanya." 
Beliau bersabda kepada wanita itu: "Pergilah, semoga Allah mengampuni kekeliruanmu (salah tuduh)." Beliau juga mengatakan ucapan yang baik kepada laki-laki itu." Abu Dawud berkata, "maksudnya laki-laki yang diambil karena salah tangkap. Dan Rasulullah berkata untuk si pelaku: "Rajamlah ia." Kemudian beliau melanjutkan: "Dia telah bertaubat, dan sekiranya taubatnya dibagikan kepada seluruh penduduk Madinah, niscaya taubatnya akan diterima." Abu Dawud berkata, " Asbath bin Nashr juga meriwayatkannya dari Simak." (HR.Abu Daud )

Hadits ini berstatus hasan (baik).



MASA UMAR IBN KHATTAB
Dalam Ali Muhammad Ash-Shalabi menuliskan dalam biografi Umar Ibn Khattab:
Beberapa janda yang telah dipaksa berzina oleh beberapa orang pemuda anak pejabat dibawa ke hadapan Umar. Umar kemudian menjatuhkan hukuman cambuk kepada orang-orang yang memaksa untuk melakukan zina dan tidak mencambuk perempuan-perempuan yang dipaksa berzina. 
Ada juga seorang perempuan berzina dibawa ke hadapan Khalifah Umar. Dia berkata kepada khalifah, "ketika saya bangun dari tidurku, tiba-tiba ada orang lelaki yang menekan-nekan kepadaku." Mendengar perkataannya, Khalifah Umar membebaskannya dan tidak mencambuknya. Kejadian yang menimpa perempuan tersebut adalah merupakan bukti yang belum pasti dan hukum had dapat digagalkan jika ada bukti yang belum pasti. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang yang dipaksa karena pihak pemaksa mampu menekannya ataupun orang yang dipaksa karena diancam akan dibunuh. 
Ada seorang perempuan yang meminta kepada seorang penggembala untuk mengambilkan air. Penggembala tersebut bersedia mengambilkan air, jika orang perempuan itu mau melakukan zina dengannya. Orang perempuan itu bersedia untuk memenuhi syarat  yang diminta oleh penggembala. Kejadian ini kemudian dilaporkan kepada Umar. Dia bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, "Bagaimana pendapatmu terhadap orang perempuan ini?" "Dia melakukan hal itu karena terpaksa." jawab Ali. Umar Radiyallahu Anhu memberikan sesuatu kepada perempuan itu kemudian membebaskannya.
Ali Muhammad Ash-Shalabi menuliskan dalam catatan kaki bahwa kisah-kisah tersebut didapatnya dari Sunan Al-Kubra yang ditulis oleh Al-Baihaqi dan Al-Mughni.


QANUN ACEH
Pemerkosaan diatur dalam Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014.  Korban pemerkosaan tidak harus menghadirkan 4 saksi melainkan cukup dengan pengakuan dan bukti permulaan. Jika bukti permulaan tidak cukup, maka korban pemerkosaan diharuskan bersumpah di depan hakim. Ketika korban tidak bersedia bersumpah ini lah, baru hukuman qadzaf diberlakukan.

Ketika bukti pemerkosaan tidak cukup, cara Qanun Aceh memperlakukan tersangka pelaku dan korban pemerkosaan mirip seperti kasus sumpah Li'an antara suami dan istri yakni kedua belah pihak saling bersumpah dan bersedia dilaknat oleh Allah jika berbohong.

Walau ternyata peraturannya cukup adil, menurutku definisi "Qadzaf" di pasal 1 perlu diubah karena tidak sesuai dengan proses di pasal 52.

Yang menarik, ternyata Qanun Aceh cukup maju. Misalnya di pasal 36, kehamilan di luar nikah tidak bisa menjadi bukti perbuatan zina. Hal ini bahkan dipertegas lagi dalam penjelasannya, "Kehamilan bukanlah alat bukti untuk menuduh seorang perempuan telah melakukan jarimah zina. Orang yang menuduh perempuan hamil telah berzina tetapi tidak mampu menghadirkan 4 (empat) orang saksi, dianggap melakukan jarimah qadzaf."

Selain itu, definisi pemerkosaan di Qanun Aceh juga lebih maju daripada tafsir KUHP. Di KUHP, tindakan pemerkosaan adalah jika terjadi persetubuhan dan para penafsir (seperti SR Sianturi dan R. Soesilo) biasanya mengatakan persetubuhan berarti kemaluan laki-laki masuk ke dalam kemaluan perempuan (bukan sekedar menempel). Sementara, Qanun Aceh mendefinisikan pemerkosaan adalah "hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku ATAU BENDA LAINNYA yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban DENGAN MULUT PELAKU atau TERHADAP MULUT KORBAN dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban".


Jadi kalau ada yang menganggap sebuah tindakan "menyentuh dan memasukkan jarinya pada kemaluan" sekedar sebagai pencabulan atau pelecehan -- atau bahkan lebih parah menggunakan kata yang lebih halus "perundungan seksual" maka mereka perlu malu pada ulama-ulama Aceh yang selama ini dianggap konservatif.


APAKAH PERATURAN YANG ADA SEKARANG CUKUP?
Jawaban singkat, tidak!

Coba lihat kembali kasus di masa Umar ibn Khattab tentang wanita yang berzina karena syarat yang diberlakukan si penggembala untuk mengambilkan air. Apakah wanita itu diancam? Tidak! Apakah wanita itu dipaksa dengan kekerasan? Tidak! Apakah wanita itu dipaksa? Tidak! Tetapi seperti ijtihad Ali ibn Abi Thalib, walaupun wanita itu tidak diancam ataupun mendapat kekerasan, wanita itu terpaksa berzina.

Ali ibn Abi Thalib, memahami apa yang sekarang dikenal oleh kaum sosiolog dan filsafat sebagai "relasi kuasa". Ia memahami bahwa walaupun si wanita tidak diancam, dipaksa, ataupun mendapat kekerasan fisik, si wanita berada dalam posisi lemah yang membuatnya sulit untuk menolak.

Itu sebabnya, di dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, pemerkosaan didefinisikan ulang dalam pasal 16, "Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.".

Pendefinisian ulang pemerkosaan ini, walau mungkin terpengaruh oleh Barat, tetapi pada hakikatnya juga dipahami oleh Ali ibn Abi Thalib. Langkah pendefinisian ulang yang dilakukan oleh RUU PKS sebenarnya tidak bertentangan dengan Islam tetapi sebaliknya, justru mengembalikan pemahaman kita kembali tentang perlindungan kepada wanita.

Adalah hal fatal, ketika berbicara tentang "penghapusan kekerasan seksual" ditanggapi dengan pernyataan moralistik semacam "berarti kalau tidak dipaksa maka tidak bersalah". Padahal dalam hukum Islam, justru diharuskan untuk berprasangka baik dan mencari keraguan agar tidak mudah menjatuhkan hukum had dengan salah satu kaidah fiqih  الحدود تُدرأ بالشبهات (al-Hudūd Tudra'u bi as-Syubuhat)  yang berarti hukum hudud bisa digugurkan dengan keraguan.

Jadi jika ada tuduhan zina pada seorang wanita sementara pihak wanita berdalih ia dalam keterpaksaan, sikap awal yang harus diambil adalah berprasangka baik kepada pihak wanita seperti yang dilakukan oleh Ali ibn Abi Thalib dan Umar ibn Khattab.






REFERENSI

Untuk teks hadits Abu Daud, saya mengambil dari Lidwa
http://hadits.in/?abudaud/3806
Mereka memiliki aplikasi yang cukup bagus untuk terjemahan bahasa Indonesia dari Kutubus Tis'ah (9 kitab hadits)  di
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.saltanera.hadits


Qanun Jinayat No 6 Tahun 2014
https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-6-Tahun-2014-Tentang-Hukum-Jinayat.pdf

Contoh Penerapan
https://regional.kompas.com/read/2017/10/12/18393471/untuk-pertama-kalinya-pemerkosa-di-aceh-tengah-dihukum-cambuk

Pembahasan tentang definisi pemerkosaan dalam KUHP yang berlaku saat ini
https://materihukumlbhtrisaktiforjustice.blogspot.com/2017/10/analisis-unsur-unsur-tindakan.html

https://magdalene.co/story/definisi-hukum-soal-pemerkosaan-kerdilkan-pengalaman-korban

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
http://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf



0 comments: