Monday, January 07, 2008

Ayat-Ayat Cinta? Waduh...

Beberapa kawan baik dari AK maupun Kopma bertanya,
"Kund.. akankah kau menonton ayat-ayat Cinta?"
"Kund.. sudah menonton trailernya? Kok kayak Kuch Kuch Hota Hai yah?"


Jujur aja,
baca novelnya saja, aku tidak tertarik... Benar-benar tidak tertarik, apalagi setelah seorang kawan bermurah hati menceritakan ringkasannya, aku tetap tidak tertarik.
Tidak dan tidak dan tidak dan tidak dan tidak dan tidak!!!


"Tetapi sutradaranya si Hanung, Kund..."
Jleb....
"kan kamu sendiri yang bilang kalau dia sutradara favorit kamu..."
Hmmmm....


"Tapi Produsernya ada nama 'Punjabi', Kund"
Ugh...
"masak kayak Kuch-Kuch Hota Hai, Kund?"
eh? Aku belum nonton trailernya..

"Iya Kund.. aku sama dengan kamu, dan aku makin tertarik saat membaca lika-liku blog sutradaranya"
Sebentar.. aku baca dulu blog-nya

Tetapi aku ingat, bahwa di Film ini kesabaranku benar-benar di uji. Impianku mewujudkan keindahan dan kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang, Hedonistik dan Pop. Apalagi ketika producer tiba-tiba berubah pikiran melihat kenyataan penonton Film Indonesia banyak di dominasi anak-anak muda yang pop, ringan dan tidak menyukai hal-hal bersifat perenungan. Dia lantas ingin mengubah karakterr film AAC menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch Hotahai ... Tuhanku! Tuhanku! selamatkan film ini ...

Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika meminta adegan Talaqi dibuang. Karena boring dan membuat penonton mengantuk. Lalu beberapa adegan yang bersifat perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara dan menemukan hakikat kesabaran dan keikhlasan dari seorang penghuni penjara yang absurd (dalam novel digambarkan sebagai seorang professor agama bernama Abdul Rauf), Tetapi di Film saya adaptasi sebagai sosok imajinatif, bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih dan suara yang sangat tajam melafatskan kebenaran. Semua adegan itu diminta untuk dibuang atau dikurangi dan lebih mementingkan adegan romans seperti AADC ataupun Kuch Kuch Hotahai ...



Tidaaaaaakkk!!!!

Hal mendasar yang membuat produksi ini mengalami kendala kreatif adalah producer mulai menekan bujet produksi akibat kerugian di film pertama. Pemindahan shooting di Indonesia dilakukan dengan asumsi bujet produksi tidak semahal di Kairo. Padahal kenyataan di lapangan tidak semudah asumsi itu.


Hiks....

Ternyata, dibalik semua itu ada yang tidak jujur, memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan. Aku marah, tetapi aku tahu itu tidak ada gunanya. Akibat dari kesalahpahaman ini kami kehilangan waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dimanfaatkan buat Shooting. Kami cuma bisa pasrah …


Aaaaarrrrgghhhhhh!!!!

Kemudian muncul gagasan shooting di India dari salah seorang staf perusahaan MD yang orang India. Dia berjanji bisa menyediakan lokasi yang kita butuhkan mirip Cairo. Semula aku ragu, tapi setelah ditunjukkan foto-foto lokasi di India, saya jadi yakin. Dalam foto itu tergambat Sungai Nil, sudut kota kairo, Taman Al azhar University, Padang Pasir lengkap dengan unta-unta dan kafilah. Hanya pyramid saja yang tidak ada. Tapi itu bisa dibuat di studio menggunakan Computer Graphics Imagery (CGI) yang lebih dikenal dengan special effect.

..................
.............................
...................
.............................

Tidak ada harapan lagi kecuali shooting ke India saja. Untuk saat ini, sebuah kemewahan bisa membayangkan film ini sesuai dengan harapan Kang Abik dan pembaca fanatik AAC. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyelesaikan film ini semaksimal yang aku bisa.

Tapi India kan beda...
nuansa orang-orangnya berbeda...
.... ihik...
hiks...

Sungguh, aku sudah tidak kuat. Aku ingin lari saja dari produksi. Toh, tidak ada jaminan apapun buatku untuk menyelesaikan film ini? Uang? Demi Alloh, gajiku tidak sebanding dengan persoalan yang aku hadapi. Kalau orang mengira aku melakukan ini semua demi uang? Demi jualan? Kehormatan? Wallohi, orang itu benar-benar picik. Tidak ada keuntungan materi yang aku dapat di film ini. Semata-mata hanya idealismeku saja yang berharap Film Indonesia tidak hanya diisi oleh Horor dan percintaan remaja Kota. Tapi apa itu idealisme? Apakah Kang Abik dan jutaan pembaca AAC mengerti soal idealisme ini? Apa yang mereka bisa berikan buat mengganti segudang persoalan kami disini? Mereka tidak lebih dari sekedar penonton yang menuntut hiburan atau membanding-bandingkan Film dengan Novelnya. Lantas jika tidak sama dengan Novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam Novel tidak tampak, tidak terasa.



Aku pernah bertemu Mas Hanung di Kemang Utara No. 28
Aku mengikuti film-film Mas Hanung..
tanpa harus membaca blog Mas pun,
bila hasilnya jauh berbeda dan sangat mengecewakan,
aku yakin itu bukan keinginan Mas.

Jangan mau dicantumkan namanya, Mas....
Tolak aja pencantuman nama Mas...

Alan Smithee, Mas.. Alan Smithee...


PS: Tulisan ini dipasang setelah menonton trailer-nya.

3 comments:

adiwirasta said...

"Jujur aja,
baca novelnya saja, aku tidak tertarik... Benar-benar tidak tertarik, apalagi setelah seorang kawan bermurah hati menceritakan ringkasannya, aku tetap tidak tertarik."

>> asli, gue kaget banget baca ini. Kok bisa???

Anonymous said...

maksudnya, aku tidak tertarik baca novelnya. Trus temanku menceritakan ringkasannya agar aku tertarik namun tetap saja aku tidak tertarik.

Oh ya,
tanggapan Mas Hanung di blog beliau:
Kreator harus memiliki tanggung jawab kreatif atas karyanya. Sekalipun Rolland barthes bilang seorang kreator sudah mati ketika karyanya sudah dipresentasikan ke public, bukan berarti tidak boleh (tidak mau) mencantumkan nama kreator di karyanya. Bagus atau tidak sebuah karya dinilai bukan menjadi tanggungjawab kreator. Tugas kreator mencipta dengan kekuatan maksimal dan integritas yang tinggi. Tugas penonton menilai dan mengkritisi karya dari kreator. Saya siap film ini akan dijelek-jelekkan atau dipuji. Bahkan direndahkan sekalipun karena tidak sesuai novel. Buat saya Novel dan Film adalah karya yang berbeda.

Anonymous said...

Kita nonton aja yuk.....
Dan kalau diributi...bisa dipastikan penontonnya banyak karena pengin tahu, dan membuat produser untung...dan ingin buat lagi film yang sekedar menjaring penonton...duhh...lingkaran setan