Tuesday, October 17, 2017

Hentikan Penggunaan Istilah 'Pribumi' SEKARANG JUGA!

Saya keturunan Jawa, lahir di Jakarta, lebih akrab dengan lenong Jakarta daripada ketoprak atau ludruk, lebih akrab dengan Gambang Kromong dan Tanjidor daripada Gamelan Slendro atau Pelog, lebih menyenangi suara Tekyan digesek daripada Rebab milik ayah saya. Ayah saya pernah begitu marahnya pada saya dan melarang saya berbahasa Betawi. Sebagai gantinya, saya ngambek tidak mau belajar bahasa Jawa.

Singkat kata, latar belakang pribadi saya membuat saya menolak segala sekat-sekat berbasis sukuisme dan rasisme. Sekarang bagaimana pengalaman saya bergaul dengan kawan-kawan keturunan Tionghoa?

Saya pernah memiliki kawan keturunan Tionghoa Palembang, hidup di gang-gang kecil. Si kakak yang jadi teman saya, masih tetap beragama Buddha (setahu saya) sementara adiknya masuk Islam. Jadi penasaran, bagaimana kabar mereka sekarang, karena sudah lama tak bertemu.

Saya punya kawan keturunan Tionghoa Medan, hidup di rumah toko, juga pernah mengalami pahitnya dipecat dalam perjalanan ke kantornya.

Saya punya kawan keturunan Tionghoa Jawa, tak bisa membaca tulisan Pinyin sama sekali dan tidak pula bisa bahasa-bahasa etnis Tionghoa. Kalau dia terjebak di antara orang-orang berbahasa Hanyu atau Tiochiu atau Khek, pastilah dia rekam diam-diam untuk kemudian dia tanya ke kawannya, "mereka ngobrol tentang apa sih".

Saya pernah beberapa kali menemukan "pribumi" begitu asyik bicara tentang cara menyuap untuk mendapat proyek. Dalam salah satu kesempatan, saya sampai marah mendengar ocehan salah satunya dan mendampratnya. Di sisi lain saya malah pernah menemukan pengusaha keturunan Tionghoa, memilih pasrah (tapi ngedumel) "bayarannya ditunda" daripada memberikan uang pelicin proyek. Bahkan ketika salah satu kliennya menawarkan "kamar hotel", dia memutuskan menolak. Hanya menggunakan kamar tersebut agar temannya bisa shalat, dan setelah itu ia dan kawannya pulang, khawatir bila menginap di kamar tersebut nanti didatangi "tamu wanita".

Dan saya punya beberapa teman non-Tionghoa yang acapkali disangka Tionghoa karena bentuk matanya. Cuma ya, tetap saja mereka mendapat "perlakuan berbeda" hanya karena bentuk fisik.

Jadi apa yang salah dengan membawa narasi "pribumi"?
Banyak!
Dari sisi peraturan salah. Zaman Pak Habibie jadi presiden sudah mengeluarkan larangan menggunakan istilah ini.

Dari sisi agama yang kuanut pun salah. Di masa Nabi, beliau sudah memiliki sahabat keturunan Ethiopia dan keturunan Persia. Kenyataannya banyak para pelestari agama Islam berasal dari non-Arab seperti dari Bukhara.

Dari sisi cita-cita para pendiri negara ini pun salah. Coba lihat pidato Bung Hatta di depan orang-orang Tionghoa tahun 1946. Sistem ekonomi negara kita yang baru seharusnya menghapus semua sekat-sekat sosial di masa kolonial. Jadi bukan untuk membalik piramida dan balas dendam.

Dari sisi kenyataan sosial di negara ini pun salah. Orang-orang Tionghoa juga mengalami sebagai pihak terzalimi secara ekonomi sementara orang-orang pribumi juga ada yang di tingkat atas piramida ekonomi.

Dan yang paling berbahaya, narasi 'pribumi'-isme menghalangi isu sesungguhnya.
Kalau seandainya, yang korupsi adalah 'pribumi' apa kita harus menerima karena pelaku adalah 'pribumi'?
Kalau seandainya, para pengusaha yang kelak menguasai dan mengendalikan harga-harga fasilitas yang seharusnya milik publik adalah para pengusaha 'pribumi' apakah kita diam saja karena pelaku adalah 'pribumi'?

0 comments: