Friday, April 08, 2022

Untuk Kartini, Pendidikan Wanita Bukan Sekedar Untuk Kepentingan Wanita



Seringkali kita mengabaikan Kartini karena menganggapnya hanya sebagai pahlawan emansipasi. Padahal seperti yang pernah kukutip surat-surat sebelumnya, Kartini juga peduli pada diskriminasi berbahasa [1], gelisah akan adat suap-menyuap [2], dan merebaknya candu di Jawa [3].

Perkara pendidikan pun, Kartini bukan hanya peduli kepada perempuan tetapi juga kepada laki-laki. Misalnya dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon tertanggal 24 Juli 1903, ia menyampaikan berikut:

Kini aku memiliki permohonan penting kepada Nyonya, sebenarnya kepada Duli Tuanku. Dapatkah Anda menyampaikannya kepada Yang Mulia? Kami menaruh perhatian kepada seorang pemuda dan berharap ia sukses. Nama dari pemuda ini adalah Salim, ia seorang Sumatra, dari Riau, dan tahun ini ia menyelesaikan ujian akhirnya di H.B.S dan meraih nomor 1 dari 3 H.B.S. Bocah ini sangat ingin belajar ke Belanda untuk menjadi dokter namun sayangnya, keuangannya tak memungkinkan. Ayahnya digaji hanya f150. Jika diperlukan, ia siap untuk mengabdi sebagai kelasi asalkan ia bisa pergi ke Belanda. Tanyalah kepada Hasim mengenainya, ia mengenalnya dan mendengarnya berpidato di STOVIA. Ia adalah jejaka berhati keras, yang layak untuk dibantu. 

Ketika kami mendengar tentangnya dan ambisinya, keinginan kuat timbul dalam dada kami untuk melakukan segalanya agar mudah baginya. Kami terpikir keputusan Pemerintah pada tanggal 7 Juli 1903, resolusi yang begitu lama kami tunggu dan kami terima dalam kesedihan. Haruskah buah kerja keras dari kawan-kawan bangsawan, dan harapan, doa serta keinginan kami hilang tak terpakai? Pemerintah menawari kami berdua f4800 untuk menyelesaikan pendidikan kami -- tak bisakah dialihkan kepada ia yang lebih membuthkan dari kami dan tak kurang membutuhkan? Akan sangat menyenangkan jika Pemerintah mempersiapkan membayar seluruh pendidikannya, yang berjumlah f8000 -- jika tak memungkinkan, kami akan berterimakasih jika Salim dapat menerima f4800 yang sudah disisihkan untuk kami. Sisanya akan kami carikan bantuan dari yang lain. Bolehkah kami menulis kepada ratu tentang Salim? Bukan dalam bentuk petisi melainkan surat pribadi?

Oh, biarkan ia merasakan kesenangan yang sudah kami dambakan bertahun-tahun dan tertolak dari kami. Buatlah kami bahagia dengan membiarkan orang lain bahagia, ia yang juga terinspirasi dari keinginan yang sama, perasaan yang sama, dan aspirasi yang sama seperti kami. Kami tahu merasakan kehidupan dalam diri kami, membawa keinginan membara dalam dada kami. Oh jangan biarkan kehidupan muda yang indah, energi yang segar menjadi hilang. Hal-hal ini harus segera dimanfaatkan untuk kebaikan orang-orang yang benar-benar membutuhkan energi tersebut.

Heer van Kol menulis bahwa Menteri Koloni telah menulis kepada G.G atas inisiatifnya sendiri terkait petisi kami tentang pendidikan di Belanda. Tidakkah kasus Salim juga unik? Oetoyo adalah orang Jawa pertama yang mendapatkan posisi teratas dalam ujian akhir H.B.S. Antara dia dan Salim ada jarak 12 tahun. Pastilah akan dahsyat jika Salim dapat membantu rakyatnya sebagai dokter! Bahkan itulah impian Salim: bekerja untuk masyarakatnya!

Memang ganjil permintaan kami, kami sadari tetapi jika seandainya dikabulkan, Moeske, maka berbulan-bulan, bertahun-tahun perjuangan tidak akan terasa terbuang sia-sia. Biarkan kami merasakan kemewahan langka dalam hidup kami melihat buah dari perjuangan dan penderitaan kami: mewujudkan cita-cita Salim.

Semoga Tuhan mendengar doa kami! Haruskah kami menulis kepada Ratu, Bunda? Hidup pemuda baik itu, energi yang segar, tak boleh terbuang sia-sia! Aku tahu sosok yang cocok untuk menjaga Salim, yaitu kakakku. Ia juga orang baik dan menyayangi masyarakat kami. Dia, tak diragukan lagi, akan bersimpati kepada Salim. Kami akan menulis ke Belanda tentangnya. Tahukah Nyonya bahwa Abdul Rivai, mantan Dokter-Jawa, sekarang adalah mahasiswa medis di Amsterdam dengan dukungan finansial dari mantan Menteri Kolonial Cremer? Kami akan mencari orang-orang yang mampu mengulurkan tangan kepada kami.

Salim sendiri tak tahu apapun tentang ini, ia bahkan tak tahu keberadaan kami. Ia hanya tahu bahwa dengan hati dan jiwanya, ia merindukan menyelesaikan pelajarannya sehingga ia kelak dapat bekerja untuk masyarakatnya dan ia tak mampu melakukan ini karena ia tak punya uang.

Kami hidup, berharap, dan berdoa untuk Salim.



Ketika menulis tentang pendidikan bagi kaum wanita pun, Kartini tidak hanya melihat kepentingan wanita tetapi kepentingan bangsanya secara meluas, perempuan maupun lelaki. Misalnya, dalam memorandum kepada Pemerintah Belanda pada Januari 1903, Kartini menulis: 

Sementara sangat mustahil untuk memberikan pendidikan sesegera mungkin kepada populasi 27 juta orang, tidaklah muskil untuk memulainya dengan memberikan pendidikan kepada kelas atas dari populasi itu dan mengembangkan mereka sehingga mereka dapat berguna kepada masyarakat di bawahnya. Rakyat sangat tergantung kepada para bangsawan; apa yang terpancar dari mereka akan mudah diterima oleh rakyat.

Apa keuntungan dari fakta ini yang dapat menyenangkan semua pihak: Pemerintah, Bangsawan, dan rakyat jelata? Sampai hari ini, keuntungan yang didapat hanyalah kepastian hukum dan ketertiban serta bon-bon pembayaran rutin. Negara dan bangsawan telah diuntungkan tetapi apa yang didapat oleh rakyat jelata? Apa keuntungan yang didapat rakyat dari bangsawan yang mereka puja dan pemerintah yang menguasai mereka? Hingga hari ini, tak ada atau jikapun ada sangatlah kecil. Lebih mungkin mereka berada dalam kemalangan ketika para bangsawan menyalahgunakan kekuasaan dan hal itu tetaplah bukan peristiwa yang langka.    

.....

.....

... Dan masyarakat pribumi sangat benar-benar membutuhkan dasar moral yang kuat, tanpanya maka apapun cara yangdilakukan oleh Pemerintah, bagaimanapun niat baiknya, tetaplah akan gagal atau kalaupun berhasil hanya dengan hasil yang minimal. Karena itu, dasar moral masyarakat Pribumi harus ditingkatkan; Sekali dasar moral yang baik telah didirikan maka bibit-bibit kemajuan akan dapat ditumbuhkan.

Siapa dapat yang menyangkal bahwa perempuan lah yang memiliki tugas besar untuk mengembangkan moral masyarakatnya ? Dia lah, tepatnya dia, yang dapat melakukannya; dia yang menyumbang banyak, jika bukan paling banyak, untuk memastikan standar moral masyarakat. Sifat alamiahnya yang menugaskannya demikian. Sebagai ibu, ia adalah pendidik pertama; di kakinya, anak-anak pertama kali belajar merasakan, berpikir, dan berbicara, dan di sebagian besar kasus, pengasuhan awal ini mempengaruhi kehidupan si anak sepanjang hidupnya. Dari tangan ibunya lah, pertama kali ditanam mutiara kebajikan atau kejahatan dalam hati individu dan umumnya bertahan sepanjang hidup. Bukan tanpa alasan pepatah mengatakan pengetahuan baik dan buruk ada di dalam susu ibu. Namun bagaimana ibu-ibu Jawa mendidik anaknya jika mereka sendiri tak terdidik. Pendidikan dan pengembangan orang Jawa tidak akan maju jika wanita disampingkan, jika mereka tak diberi peran untuk ini. Tumbuhkan hati dan pikiran perempuan Jawa dan kalian akan dapati rekan kuat dalam pekerjaan besar nan indah ini; mencerahkan masyarakat yang berjumlah jutaan! Berikan Jawa ibu yang cerdas dan peningkatan kehidupan  dan kebangkitan rakyat tinggal sekedar masalah waktu.

Sementara berikan pendidikan kepada putri-putri bangsawan maka proses peradaban akan mengalir kepada masyarakat. Didik mereka menjadi ibu yang mampu, bijak, dan baik dan mereka akan menyebarkan pencerahan kepada masyarakatnya. Mereka akan mengalirkan  pendidikan dan perbaikan kepada anak mereka, kepada putri-putri mereka yang kelak juga akan menjadi ibu, kepada putra-putra mereka yang akan terpanggil untuk menjaga kesejahteraan rakyat. Dan sebagai sosok yang tercerahkan secara intelektual dan spiritual mereka, dengan berbagai cara akan membantu rakyat mereka dan masyarakat mereka.

.....

... Sungguh, faktor penting untuk meningkatkan populasi adalah kemajuan wanita-wanita Jawa! Karena itu sudah seharusnya menjadi tugas awal Pemerintah utnuk meningkatkan kesadaran moral masyarakat Jawa, mendidiknya, melatihnya, membuatnya menjadi ibu yang mampu, bijak, dan mengasuh! Jumlah pendaftaran di sekolah Pemerintah maupun Swasta menunjukkan bahwa pejabat-pejabat pribumi juga menginginkan pendidikan tercerahkan untuk putri-putri mereka.

Ada beberapa bupati yang bersama anak-anak mereka juga membuat ibu dari anak-anak mereka dilatih oleh guru-guru perempuan Eropa. Dan lebih banyak orang tua yang mengizinkan anak-anak mereka dididik jika ada kesempatan; karena sekolah wanita tidak ada di manapun di skeitar ini dan para orang tua masih ragu untuk mengirimkan anak perempuannya ke sekolah campur.

Selama beberapa tahun, sekolah swasta bersubsidi telah didirikan oleh seorang guru perempuan Eropa di Priyangan terutama untuk bangsawan pribumi. Baik anak laki-laki maupun perempuan menghadiri sekolah tetapi diajarkan di kelas yang terpisah dan anak-anak laki-laki pulang lebih dahulu sehingga anak-anak dari jenis kelamin berbeda tidak berjumpa satu sama lain dan sesuai dengan adat setempat. Tidak perlu diperdebatkan, masyarakat pribumi hanya perlu sadar bahwa sudah ada sekolah semacam ini -- tetapi hanya satu -- untuk perempuan-perempuan bangsawan. Kesuksesan sekolah semacam ini terjamin karena kualitas pribadi dan  reputasi serta kemampuan yang sudah dikenal dari individu yang mendirikan sekolah tersebut tetapi Pemerintah juga punya peran di sini. Pemerintah bisa mempromosikan kesuksesan tersebut dengan mendukung sekolah itu dan lebih dari itu, menunjukkan bahwa Pemerintah menghargai kemajuan perempuan Jawa!

......

......

Sekolah-sekolah tak bisa memajukan masyarakat sendirian: lingkungan rumah harus dapat bekerjasama dalam perkara ini. Dari rumahlah panduan moral datang -- bagaimanapun pengaruh keluarga muncul siang dan malam sementara pengaruh sekolah hanya ada beberpa jam sehari. Namun bagaimana lingkungan rumah dapat memberikan pengasuhan ini jika elemen penting di dalamnya, istri, ibu, tidak siap untuk mengasuh?

Jika Pemerintah terlihat oleh kami, populasi Jawa, senang dengan kemajuan wanita-wanita Jawa, akan membantu isu ini. Dukungan semacam itu akan lebih efektif daripada yang lain. Akan sangat berdampak besar jika Pemerintah secara langsung menginstruksikan semua pejabat pribumi harus mengirimkan putri-putri mereka ke sekolah, yang sayangnya instruksi ini tak akan pernah dikeluarkan oleh Pemerintah!

Jika para bangsawan tahu bahwa Pemerintah menginginkan putri-putri mereka untuk berbudaya tinggi maka mereka mungkin tidak mengirim putri-putri mereka karena keinginan pribadi tetapi tetap saja akan mengirim mereka di luar kehendak mereka. Para bangsawan harus disemangati dalam hal ini. Pentingkah apa yang kelak jadi motivasi para bangsawan mengirimkan putri mereka ke sekolah? Yang penting adalah putri-putri mereka dikirim ke sekolah!

Pernyataan ini dipertegas lagi dalam Memorandum yang menjadi lampiran petisi kepada Pemerintah untuk membantu pendidikan pada 19 April 1903.

Kami mencari dan mencari -- dan kami menyadari, merasakan, dan mengalami penderitaan dari banyak orang yang menderita dan jelas dan semakin jelas hingga begitu nyata bagi  kami, terpatri dalam hati dan pikiran kami: "sekolah saja tidak cukup untuk mendidik dan meningkatkan semangat dan moral seseorang, lingkungan keluarga harus juga dididik."

Bagaimana kami sampai pada kesimpulan itu? Oh itu jelas sekali dan begitu dekat dengan tangan kami! Kami melihat ibu-ibu Jawa mendidik anak-anaknya dan itulah kunci misteri yang kami hadapi. Atau lebih tepatnya, tak akan didapati di dunia ibu yang lebih ramah daripada ibu-ibu Jawa, tetapi juga tak akan ditemukan di dunia ibu yang lebih lemah dan lebih tak bijak dari ibu-ibu Jawa. Metode "selendang" dari mengasuh anak didesain untuk mendidik anak yang cengeng dan sulit diatur, yang akan jadi egois dan diktator di masa depan. Lebih tepatnya, tidak ada tempat yang lebih aman dan hangat daripada hati seorang ibu tetapi di sanalah, di sumber kehidupan, seseorang harus menjaga agar tidak mencampur semangat mempertahankan hidupnya dengan bibit-bibit yang akan menghancurkan karakternya.

Seorang ibu Jawa tidak dapat tahan melihat anaknya menangis, ia akan memanjakannya walaupun ia sadar bahwa sebenarnya lebih baik membiarkannya menangis lebih lama. Tak berlebihan bahwa pendidikan anak dimulai dari hari pertama kehidupannya? Mengangkat bayi merah yang belum berusia seminggu, yang menangis, menjerit tanpa alasan, menggendongnya, membuainya hingga tidur di lengannya dan mereka akan terus-terusan melanjutkan mengasuh dengan cara seperti ini: si anak akan terus-terusan memanggilmu untuk melakukan ini. Dan jika suatu saat si ibu tak mampu, apa yang kelak terjadi? Siapa yang membuatnya tak bahagia? Ia sendiri bersama anaknya!

Inilah yang belum dipahami oleh ibu-ibu Jawa; alasannya adalah "seorang anak masihlah anak, yang tak dapat dan tak seharusnya melakukan apapun selain disayang dan diperhatikan. Karena itu membiarkan anak menderita, menangis adalah kejam".

Oh, para ibu, seandainya kalian menyadari bahwa biarkan anak memenangis sesekali akan menyelamatkan hidup kalian dan buah hati kalian dari lautan tangisan kelak. Menyerah kepada perilaku buruk anak dan wewenangmu akan diremehkan selamanya. Jika anak dibesarkan seperti ini, dimanjakan dengan cara seperti ini, sang ibu akan mengeluh dan menghela nafas tentang kenakalan anak yang ia sudah tak kuasai. 

Dan kemudian sang ibu akan melakukan kesalahan lain, ia menjadi marah terhadap perilaku anak dan menghukumnya dengan memukulnya. Memukulinya akan menyakitkan tetapi tidak selalu meningkatkan perilakunya.  Sungguh menyakitkan melihat anak menyiksa ibunya, ya, bahkan memukulinya, yang bukan hal langka di dunia kami. Dapatkah kami menyalahkan anak untuk ini? Apakah ini kesalahan sang anak belaka? Tidak, ia hanya melakukan apa yang diajari ibunya. Siapa yang mengajarinya untuk menjadi egois, angkuh, dan siapa yang mengajarinya untuk membalas dendam?

Jika anak jatuh ke tanah, terbentur oleh sesuatu, sang ibu menenangkan anaknya dengan memukuli tanah, atau benda yang ditabrak anak, yang sebenarnya tindakan itu hanya menyakiti tangannya sendiri: benda tersebut yang dimarahi, yang disiksa, yang disalahkan bukan si anak. Dengan cara ini, si anak belajar bahwa jika mengalami kecelakaan, ia harus melihat kesalahan orang lain; ia harus menjadi kejam dan mencari pembalasan.

...........

..........

Oh, untuk alasan ini, kami meminta, memohon, mendesak Pemerintah dan semua orang yang peduli kepada orang-orang Jawa: "berikan pendidikan kepada para perempuan Jawa. Kembangkan mereka baik jiwa maupun pikiran, bentuk mereka menjadi perempuan yang bijak dan baik, agar dapat menjadi pengasuh yang baik untuk generasi yang masa depan". 

Dan ketika Jawa telah memiliki ibu-ibu yang baik dan bijak, maka proses mengadabkan rakyat hanya menjadi sekedar masalah waktu! Ketika pikiran-pikiran anak-anak yang kacau terbangun seiring dengan waktu dan menjadi tegas, mereka akan menjadi semakin yakin dan semakin besar keyakinan mereka, semakin kuat, semakin besar keinginan untuk bertindak, untuk menghasilkan sesuatu -- keinginan yang sudah tumbuh dan panas dalam diri kami, dan hati kami serta pikiran kami mengatakan keinginan ini adalah bagus!


Jadi jelas lah, dalam pandangan Kartini, memajukan wanita adalah langkah awal dalam mempercepat kemajuan bangsa. Dengan mengasingkan perempuan dari kemajuan zaman maka sama saja menihilkan segala usaha mencerdaskan bangsa.

Di masa kini, beberapa pandangan Kartini mungkin ketinggalan zaman. Kini kita tahu bahwa mendidik dan mengasuh anak bukanlah tugas perempuan semata melainkan juga tugas para lelaki sebagai ayah. Suami berbagi beban dengan para istri, bukan menimpakan tanggung jawab kepada istri. Namun, pandangan Kartini bahwa kemajuan perempuan adalah titik awal kemajuan bangsa tidaklah salah. 


Referensi:

1. https://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2021/04/kartini-dan-diskriminasi-bahasa.html 

2. https://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2021/04/kartini-dan-praktik-gratifikasi-abad-xix.html 

3. https://cacianqalbukunderemp.blogspot.com/2021/04/kartini-dan-candu-opium.html 


Surat-surat Kartini di atas kuterjemahkan tidak dari bahasa Belanda melainkan bahasa Inggris hasil terjemahan Joost Coté. Dapat ditemukan di buku beliau, Kartini: The Complete Writings 1898-1904.

0 comments: