MSJ bagian I: Kesan Pertama
Museum Sejarah Jakarta
Bagian Pertama: Kesan Pertama
tulisan ini bagian pertama dari tujuh tulisan.
tulisan lain:
Bagian Pertama: Kesan Pertama
tulisan ini bagian pertama dari tujuh tulisan.
tulisan lain:
- MSJ bagian II: Masa Prasejarah dan Awal Tulisan
- MSJ bagian III: Kedatangan Portugis dan Belanda
- MSJ bagian IV: Kehidupan Penjajah
- MSJ Bagian V: Perang Batavia
- MSJ Bagian VI: Kehidupan Batavia
- MSJ Bagian VII: Kritik Terhadap Museum
Tulisan dari sudut pandang ibuku bisa dilihat di:
http://edratna.wordpress.com/2007/01/04/menikmati-liburan-dengan-naik-busway
Rencana Awal
Sebenarnya, hari itu (Rabu, 3 Januari 2007) tiada rencana satupun untuk pergi ke Museum Sejarah Jakarta yang juga populer disebut sebagai Museum Fatahillah. Niatku dan ibuku siang itu hanyalah mengantar ibuku mencoba Bus Transjakarta. Maklum lah, selama ini, ibuku tak pernah mencobanya karena kesibukan kerja dan aku selalu mengatakan kenikmatan Bus Transjakarta baru bisa dinikmati bila bukan pada hari libur.
Itupun, ibu sempat kecewa dengan antrian memasuki bus. Tetapi aku mencoba membesarkan hati dengan mengatakan, bila jalan macet, antrian bus Transjakarta yang panjang tidak ada artinya dengan nyamannya bus tersebut.
Kami mencoba menaiki bus Transjakarta dari Terminal Blok M sampai Stasiun Kota. Sesampainya di Stasiun Kota, kami tak tahu harus ke mana. Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba Museum Sejarah Jakarta.
Halaman Museum Sejarah Jakarta
Seharusnya, kami bisa berjalan kaki dari Terminal Busway Stasiun Kota menuju Museum Fatahillah, namun akhirnya kami memutuskan menaiki bajaj. Tarifnya, (katanya) seharusnya Rp 3000, namun abang bajaj meminta Rp 7000. Setelah tawar menawar singkat, kami akhirnya membayar bajaj tersebut Rp 6000.
Pemerintah Daerah Jakarta tampaknya sedang mencoba memperindah kawasan di sekitar Museum Sejarah Jakarta. Dahulu, jalan raya bisa langsung melintasi depan Museum Fatahillah. Namun kini, dibangun blok-blok sehingga jalan lebar tersebut lebih mirip sebagai kawasan pejalan kaki. Sayangnya, pengendara-pengendara motor yang tidak disiplin tampaknya lebih suka bersikap tidak sensitif dengan tetap melaju di jalan tersebut walaupun sudah ada rambu lalu-lintas yang melarang kendaraan bermotor (termasuk motor!) untuk menggunakan jalan tersebut.
Halaman museum adalah sebuah lapangan luas (Lapangan Fatahillah) di mana dahulu ada dua bangunan Belanda yang menjadi pusat kegiatan kelas atas masyarakat Batavia. Bangunan pertama adalah Balai Kota (Staadhuis) yang juga merangkap sebagai tempat Dewan Pengadilan (Raad van Justitie) Batavia dan kini telah dirombak menjadi Museum Sejarah Jakarta. Bangunan kedua adalah sebuah gereja yang dinamai Gereja Belanda Baru namun lebih dikenal sebagai Gereja Kubah (Koepelkerk). Sayangnya bangunan kedua sudah tidak ada dan digantikan bangunan-bangunan lain dan salah satunya kini menjadi Museum Wayang.
Di bagian depan Museum terdapat meriam-meriam kecil. Selain itu ada pula sebuah batu dari halaman depan istana de Dam.
Bagian Awal Museum
Harga tiket masuk museum adalah Rp 2000 (murah yah?). Aku sempat sedikit kaget waktu ada peraturan dilarang memotret. Namun ternyata sebenarnya mereka membolehkan memotret hanya untuk koleksi pribadi. Yang tidak diperbolehkan adalah memotret untuk keperluan komersial.
Setelah masuk, sebenarnya kita bisa saja memilih ke kiri atau ke kanan sesuka hati namun penjaga tiket menyarankan untuk pergi ke kanan. Di sebelah kanan, kita akan melihat becak (yang sayangnya lupa untuk kuambil gambarnya), kios rokok, dan gerobak tukang bakso. Sementara di sebelah kiri kita akan melihat manekin yang berpakaian pengantin adat betawi.
Di balik becak yang berada di sebelah kanan, kita melihat poster berisi alat transportasi yang ada di Jakarta. Di antaranya adalah angkutan yang dipikul oleh dua orang. Sementara di ruangan sebelah kiri, kita akan melihat maket yang berisi angkutan dari delman, becak, getek (rakit), bemo, sampai oplet (ingat sinetron Si Doel?)
Sayang sekali angkutan-angkutan tersebut jarang kita temui. Di poster bahkan ada trem yang sudah tidak pernah kita temui. Delman, paling banter hanya kulihat di hari minggu, untuk hiburan anak-anak di kampung.
Ruangan selanjutnya berisi poster lukisan Gubernur DKI Jakarta semenjak Indonesia Merdeka hingga kini (2007.. sebelum pilkada). Sebagian besar dari mereka tidak kukenal. Sedikit sedih karena ternyata aku tak mengenal gubernur tempat kelahiranku sendiri.
Ibuku juga hanya mengenali satu orang dari gubernur di masa lalu, yakni Ali Sadikin yang kontroversial dengan ide-idenya tetapi konon berhasil membangun Jakarta.
Menurut Ibu, sebenarnya Sutiyoso juga patut dikenang karena berani menerapkan kebijakan-kebijakan kontroversial yang menurut ibuku juga bagus. Ibu selalu bilang, Jakarta itu, gubernurnya memang harus berani mati.
Sayangnya, kami harus melanjutkan perjalanan ke ruangan selanjutnya, yang mengisahkan masa prasejarah Jakarta.
... untuk dilanjutkan
2 comments:
Difoto dong, Iang...
Yang lucu bagian pangkal meriamnya, kan? Hehehe.. Kuku bima..
Great blog I have some one in mind that would be interested. Thank you.
Post a Comment