Thursday, January 25, 2007

MSJ Bagian VII: Kritik terhadap Museum

Museum Sejarah Jakarta
Bagian ketujuh: Kritik Terhadap Museum
tulisan ini bagian keenam dari tujuh tulisan.

tulisan lain:
  1. MSJ bagian I: Kesan Pertama
  2. MSJ bagian II: Prasejarah dan Awal Tulisan
  3. MSJ bagian III: Kedatangan Portugis dan Belanda
  4. MSJ Bagian IV: Kehidupan Penjajah
  5. MSJ Bagian V: Perang Batavia
  6. MSJ Bagian VI: Kehidupan Batavia
Tulisan dari sudut pandang ibuku bisa dilihat di:
http://edratna.wordpress.com/2007/01/04/menikmati-liburan-dengan-naik-busway



Informasi Kurang
Sebenarnya, di lantai dasar sebelah kanan, tempat dari kehidupan Jakarta sekarang sampai ruangan-ruangan prasasti, aku cukup puas dengan keterangannya. Mungkin karena poster-poster keterangan di samping prasasti yang cukup menjelaskan atau mungkin juga karena tidak ada sesuatu yang bikin penasaran. Paling cuma penasaran mencoba apakah besar kakiku sama dengan besarnya kaki Raja Purnawarman.. Hehehehe

Namun ketika menginjak lantai atas yang berisi koleksi barang-barang tuan-tuan besar kita, aku mulai kecewa karena ada beberapa pertanyaan yang tak terjawab. Terutama yang berkaitan dengan hiasan. Misalnya, siapa yang dimaksud dengan Dewa Kebenaran dan Dewa Keadilan? Dari budaya mana? Dan siapa wanita berpakaian serdadu yang di sebelah kanan dan kirinya ada meriam? Siapa sajakah 14 anggota dewan pengadilan Batavia? Patung siapakah yang ada di ceruk atas di dekat atap?

Bahkan, koreksi ingatanku kalau salah, ada sebuah ukiran Cupid yang diterangkan sebagai Dewa Cinta. Padahal Cupid bukanlah dewa cinta melainkan sekedar peri cinta. Ibunya, Aphrodite atau Venus-lah yang menjadi dewi cinta.

Bahkan perlu dipertanyakan juga, mengapa, Belanda menggunakan hiasan-hiasan yang berasal dari mitologi Yunani (seperti Cupid dan Hermes)? Rasanya seperti melihat orang-orang Minang yang mengoleksi Wayang Kulit.. Aneh dan janggal. Kalau sekedar lukisan Raja Solomon/Sulaiman (Yahudi), mungkin masih bisa diterima nalar karena kisah itu juga merupakan kisah Kristen, agama yang dipeluk oleh orang-orang Belanda.



Tiadanya Buku Pendukung
Hal lain yang kusayangkan adalah tiadanya buku pendukung. Aku ingat, saat masih SD berkunjung ke Museum Satria Mandala Putra, mereka memiliki buku panduan berisi daftar koleksi-koleksi mereka dan keterangannya. Bahkan setelah aku pulang dari museum pun, aku menikmati membaca koleksinya.

Ketika aku bertanya kepada pengelola, sayangnya mereka tidak punya. Padahal buku seperti itu, selain bisa memuaskan dahaga akan pengetahuan, juga bisa menjadi sarana promosi. Bayangkan bila kerabat si pengunjung datang ke rumah dan menemukan buku semacam itu dan berpikir, "kayaknya museum ini menarik juga".

Buku yang dimaksud, bukanlah sekedar buku promosi yang cuma sepintas tentang sejarah museum lalu melainkan buku mengenai isi koleksi museum. Kisah dibalik tiap-tiap pajangan yang ada, hal-hal remeh yang berkaitan tentangnya, sejarah penemuannya, dan hal-hal lain.




Kurangnya Inisiatif Pengelola

Aku dan ibuku sudah mengajukan protes itu saat pergi ke kantin museum. Dan mereka mengiyakan, mungkin karena kekurangan dana.

Salah satu pengelola mengatakan,
"wah.. sebenarnya tadi saya mau nawarin jadi guide, Bu (ke ibu saya maksudnya). Apalagi saya lihat, Ibu dan Mas kayaknya tertarik ama sejarah"..

Yeee...
Kenapa tidak menawari kami dari awal?
Mungkin seharusnya pengelola proaktif dalam menawarkan jasa pemandu. Pemandu selalu berguna untuk bercerita hal-hal menarik dibalik sebuah koleksi atau tempat wisata. Coba, apa menariknya kalau kita sekedar melihat batu di Candi Prambanan? Tetapi kalau pemandu bisa menjelaskan bahwa relif yang ada di sisi candi utama sesungguhnya adalah cerita Ramayana, mungkin sebagai pengunjung kita akan lebih tertarik.

Atau, kalau malu,
mungkin seharusnya jangan sungkan-sungkan menaruh harga pemandu di tempat membeli tiket.



Yang Mungkin Bisa Dilakukan
Aku melihat beberapa potensi dari museum ini. Selama ini tampaknya, pengelola mencoba menarik dana tambahan dari jasa pemandangan seperti sebagai tempat pemotretan (mungkin untuk pre-wed/foto pranikah). Padahal dengan begitu banyak cerita dan barang-barang yang ada, mungkin bisa bikin atraksi.

Misalnya..
Bikin atraksi drama kecil-kecilan seperti penjahat atau pemberontak VOC yang dihukum mati di lapangan. Atau foto pura-pura jadi penjahat yang dirantai di bola-besi di dalam sel.

Selain itu, mungkin seharusnya MSJ membuat semacam perpustakaan kecil (sekaligus toko buku) yang berisi buku-buku mengenai Jakarta. Buku-buku tersebut memang jarang tetapi ada, seperti karangannya A Heuken SJ, Leonard Blusse, atau dari lokal seperti Muhadjir dan Ridwan Saidi. Dengan begitu, Museum Sejarah Jakarta tidak sekedar tempat menyimpan barang-barang yang berhubungan dengan Jakarta melainkan juga pusat informasi sejarah mengenai Jakarta.

(catatan: tetapi aku akhirnya membeli buku A Heuken SJ dari mereka. Penulis-penulis lain yang kusebutkan di atas, bisa dicari karyanya di toko-toko buku, misalnya tulisan Leonard Blusse diterjemahkan dan diterbitkan oleh LKIS)


Akhir kata,
itulah tulisan terakhir mengenai Museum Sejarah Jakarta.
Sumpah.. aku benar-benar terkesan dengan koleksi di museum ini.
Mungkin karena aku juga merasa sebagai anak Jakarta (walau keturunan Jawa) sehingga merasa wajib untuk tahu sejarah kotaku.

4 comments:

Anonymous said...

suka jalan-jalan ek museum ya mas? kenapa ga gabung aja ke sahabatmuseum@yahoogroups.com?

Anonymous said...

Wah.. makasih Mas Cahyo.
Aku sudah submit ke milisnya..

Thx berat.

Anonymous said...

Salam kenal,

Wuaaa, kudos! :D Artikelnya detail banget; fotonya juga lengkap. Gw ngabisin artikelnya kemaren sore, mencerahkan banget lho. ;)

Btw, HTMnya cuma Rp. 2000? Kok murah banget ya, buat koleksi selengkap itu?

~kapan2 main ah~

-tY@- said...

sumpah...artikelnya bagus banget, gw mang rencana mau kesana minggu ini, referensi yang bagus...tambah penasaran aja nih, ga sabar mau kesana

thanks ya
(^_^)