Friday, January 05, 2007

MSJ bagian II: Prasejarah dan Awal Tulisan

Museum Sejarah Jakarta

Bagian Kedua: Prasejarah dan Awal Tulisan

tulisan ini bagian pertama dari tujuh tulisan.

tulisan lain:
  1. MSJ bagian I: Kesan Pertama
  2. MSJ bagian III: Kedatangan Portugis dan Belanda
  3. MSJ bagian IV: Kehidupan Penjajah
  4. MSJ Bagian V: Perang Batavia
  5. MSJ Bagian VI: Kehidupan Batavia
  6. MSJ Bagian VII: Kritik Terhadap Museum

Tulisan dari sudut pandang ibuku bisa dilihat di:
http://edratna.wordpress.com/2007/01/04/menikmati-liburan-dengan-naik-busway


Masa Prasejarah

Prasejarah berarti masa sebelum sejarah. Silakan koreksi jika aku salah, seingatku, masa prasejarah berarti masa sebelum adanya catatan tertulis tentang apa yang terjadi di masa itu. Masa sebelum tulisan tercipta. Masa kehidupan paling primitif yang sudah menunjukkan tanda-tanda awal kreativitas manusia.






Melihat koleksi-koleksi di ruangan ini, Ibu iseng-iseng bertanya, bagaimana sih cara mengetahui bahwa yang ditemukan oleh para arkeolog adalah buatan manusia, bukan sekedar batu biasa. Dengan gaya sok tahu yang sudah mengakar dalam diriku sejak lama, aku menjawab lihatlah batunya, terasah rapi. Bukankah itu menunjukkan buatan manusia?






Aku pernah mendengar bahwa beberapa hewan seperti simpanse, orang utan, dan beberapa jenis burung, mampu menggunakan ranting-ranting dan batu sebagai alat. Tetapi adakah di antara mereka yang mampu mengolah ranting-ranting tersebut menjadi bentuk yang lebih rapi seperti bilah kapak, gelang, atau panah? Harap koreksi aku jika ternyata ada.








Prasasti-Prasasti

Ruangan selanjutnya mulai berisi prasasti-prasasti yang menunjukkan kebudayaan lebih maju. Misalkan, prasasti ini tampak jejak (atau pahatan?) kaki gajah dan sebuah tulisan di tengahnya. Sayang sekali, tulisan pada Prasasti Kebon Kopi ini sulit dibaca apalagi difoto.







Prasasti selanjutnya sayangnya lupa kucatat namanya. Prasasti ini berisi jejak dua kaki manusia yang konon adalah jejak kaki Raja Purnawarman dari Tarumanegara. Penyakit isengku kumat saat melihat prasasti ini. Aku mencoba mengukur kakiku dengan jejak kaki pada prasasti ini. Hasilnya... pas! :p







Prasasti selanjutnya membosankan, karena tidak ada bekas jejak kaki yang bisa kucoba. Prasasti ini ditemukan di Tugu. Sayang sekali, aku tidak memperhatikan keterangan di poster yang tertempel di dinding kecuali nama prasastinya.











Ruangan berisi prasasti selanjutnya sedikit membingungkan. Karena ada dua poster prasasti. Yang satu adalah prasasti yang tulisannya belum bisa dibaca, sementara yang satu adalah prasasti yang tulisannya sudah bisa diterjemahkan. Aku dan Ibu sempat berselisih, poster manakah yang menunjukkan keterangan prasasti yang sedang kami lihat. Akhirnya setelah melihat prasasti lebih teliti kami menemukan kertas yang ditempel di prasasti tersebut (gubrak!). Dan prasasti tersebut bernama Prasasti Munjul Cidahyang yang ditemukan di Desa Munjul, Lebak Banten. Lagi-lagi, prasasti ini memuji-muji Raja Purnawarman (hobi banget bikin prasasti yah?)




Di sisi yang lain terdapat koleksi patung-patung. Patung yang pertama adalah Patung Dewa Wisnu --catatan: namaku Wisjnu, bukan Wisnu. Yang membuatku tertarik adalah, Dewa Wisnu di sini digambarkan memiliki empat tangan(!) seperti halnya penggambaran Dewa Wisnu di India. Berarti sejak kapan kah Dewa Wisnu digambarkan hanya memiliki dua tangan seperti di cerita-cerita wayangnya RA Kosasih?







Patung kedua adalah patung Dewi Durga Kali. Wow.. Zaman dulu, orang Indonesia ada yang memuja Dewi Durga? Dan yang membuatku paling penasaran adalah gaya rambutnya yang mengembang habis.. Wow! Siapakah yang jadi model? Apa seperti itukah model rambut wanita di masa itu?







Patung ketiga adalah arca Siwa. Arcanya cukup kecil dan warnanya juga keemasan, tidak seperti patung-patung sebelumnya. Tangannya memegang semacam gelang yang dipegang Gajah Duduk (Ganesha) yang jadi lambang ITB. Jangan katakan kalau seharusnya patung ini juga memegang kapak. Sayangnya, patung ini terletak di dalam kaca sehingga tidak bisa kuketahui apakah ada bekas patah atau tidak. Aku juga masih heran, benda apakah yang seperti payung di atas? Dan kenapa tidak ada kalung ular seperti Dewa Syiwa yang muncul di film-film wayang India? Apakah ini asli gambaran Dewa Syiwa dari Nusantara?






Bagian selanjutnya agak tidak memuaskan untukku. Kenapa harus ada pakaian Badui di sini? Apakah Suku Badui pernah tinggal di Sunda Kalapa?

Dan kenapa ada peralatan Sunda? Apakah rakyat Betawi asli adalah suku Sunda? Katakanlah Sunda Kalapa memang jajahan orang Sunda, jajahan Kerajaan Pajajaran, tetapi apakah penduduk asli orang Sunda?


Ridwan Saidi (penulis Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya yang diterbitkan PT Gunara Kata) dan Muhadjir (penulis Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia) berpendapat bahwa penghuni asli Sunda Kalapa (atau Kalapa yang dikuasai orang Sunda) adalah orang Melayu yang berbahasa Melayu. Tapi biarkanlah itu jadi perdebatan ama orang-orang ahli di kampus sana, mungkin akan lebih menarik kalau kami melanjutkan perjalanan ke ruangan berikutnya




... untuk dilanjutkan

0 comments: